Kala
itu malam tak berawan di pelabuhan. Langit musim kemarau nampak cerah berhias
ribuan bintang gemintang. Udara dingin terasa membekukan. Jauh dari tempat ini,
sekitar tiga kilometer dari pelabuhan, puluhan generator nuklir berjejer
membentuk barisan panjang dengan kedipan lampu yang terpantul di perairan.
Sayup-sayup terdengar gaungan dari mesin generator, sejak pagi hingga petang
suara-suara berisik itu tidak pernah terkendali. Bahkan semakin lama semakin
menjadi.
Di
kejauhan, area menuju jalanan metropolis.
Suasana terlihat ramai seperti halnya malam-malam sebelumnya. Kota ini tak
pernah tidur. Ada saja aktivitas yang terjadi selama 24 jam terakhir, tempat
hiburan malam, pusat perbelanjaan, cafe, bioskop, aktifitas-aktifitas yang tak
ada hentinya.
Seorang
pria berdiri dari posisinya setelah hampir satu jam menunggu kereta cepat yang
tak kunjung tiba. Tangannya meraba saku celana, memastikan bahwa ia masih
memiliki selembar uang untuk membeli makanan. Mata coklatnya menatap deretan
toko penjual makanan. Ia menemukan empat toko makanan yang masih buka. Pria itu
mempercepat langkahnya ke salah satu toko penjual makanan, dengan selembar uang
yang dimiliki ia mungkin bisa membeli sebungkus roti dan minuman hangat.
Pria
itu duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan pembeli lainnya. Ia tak
memperhatikan sekeliling, matanya tertuju pada selembar foto yang tersimpan
didalam dompet berwarna coklat. Lagi-lagi pria itu terdiam tak kala melihat
wajah gadis kecil dengan gaun merah di foto itu.
“Sebenarnya
kau siapa?”
Tanggal
21 Maret, pada hari ulang tahun pria itu. Ada saja orang baik yang
mengirimkannya hadiah kecil berwujud buket bunga kapas. Setiap tahunnya tanpa
pernah absen, ia selalu mendapat kiriman buket tanpa nama pengirim. Bahkan buket
bunga itu sengaja diantar tepat ketika jam menunjukan pukul 05.45 pagi.
Tepat
dini hari, pria itu tiba di rumahnya yang berjarak 2 km dari stasiun kereta dan
1 km dari pelabuhan. Masih jelas terdengar generator nuklir yang menggaung di kejauhan.
Ia tak memperdulikan suara-suara penggangu itu. Tubuhnya sudah sangat lelah
memperhatikan keadaan disekitar. Pria itu merebahkan diri pada kasur tua milikinya.
Satu-satunya kenangan yang tersisa dari orang tua angkatnya sebelum keduanya
meninggal karena serangan penyakit langka.
Ia telah lama hidup dalam
kesendirian, bahkan kesendiriannya telah bertahan hingga usianya menginjak 48
tahun. Setelah berhasil menjadi dosen pengajar di salah satu universitas
ternama, ia tetap memilih untuk hidup sendiri. Kadang sebuah ingatan lama
muncul dibenaknya, ia pernah memiliki ingatan tentang seorang wanita. Tetapi
tidak pernah tahu siapa wanita yang muncul dipikirannya. Ia hanya mengingatnya
sekilas, tentang berdiri diantara derasnya hujan bersamanya, menyantap makan di
salah satu kedai, bertemu dirinya di perpustakaan, memandang langkah kakinya,
melihat senyumnya. Sedang wajahnya? Ia tidak pernah tahu seperti apa wajahnya.
“
Jadi kau yang selama ini mengirim bunga itu?” kata Pria itu.
Wanita
yang baru saja meletakkan bunga di teras rumah nampak terkejut.
“Apa
sebenarnya tujuanmu mengantar bunga-bunga itu?”
Ia
tak menjawab, hanya terdiam sembari langkahnya semakin menjauhi pekarangan.
“Hei
kau jangan pergi!!” teriak Pria itu.
Ia
memang terlihat menua dari perawakkannya, tetapi fisiknya masih sangat kuat
untuk berlari mengejar wanita pengirim buket bunga. Kaki jenjangnya dengan
mudah melompati parit kecil dengan puluhan ikan koi yang hilir mudik diantara
derasnya aliran air. Wanita itu tampak panik tak kala mengetahui jarak antara
dirinya dan pria itu hanya tersisa beberapa meter. Yang ia lakukan hanya terus
berlari, menerobos gang-gang sempit, deretan pertokoan, orang-orang berlalu
lalang hingga padatnya jalanan di pagi hari.
“Kena
kau!!” Pria itu mencengkram erat lengan wanita itu. Ia jatuh terjerembab ke
jalanan disaksikan puluhan pasang mata yang menatap mereka heran. Wanita itu
tidak dapat berkutik, ia menyembunyikan wajahnya dibalik rambut pirangnya yang
tergerai berantakan.
“Kau?”
Pria itu tergesa-gesa mengeluarkan dompet dibalik saku mantelnya. Ia
memperhatikan sungguh-sungguh foto gadis kecil bergaun merah yang persis sama
dengan wanita yang baru saja ditemuinya. “Benar ini kau?” tanya pria itu tak
sabaran.
Ia
mengangguk patah-patah.
“Kenapa
kau harus lari? apa… apa yang salah dengan diriku? kenapa kau selalu
mengirimkan bunga-bunga itu? kau ini siapa? apa kita pernah bertemu? Apa kita
memiliki hubungan?”
Ia
menggeleng pelan.
Pria
itu meremas rambutnya. “Lalu untuk apa semua itu? untuk membuatku senang? untuk
mengajariku cara bahagia?!”.
“Karena
ini keinginan kakak!” ucap wanita itu nyaris menangis.
Seketika
senyap menjalar disekujur tubuh pria itu. Ia memandang wanita muda yang
menangis di hadapannya. Matanya menatap wajah wanita muda yang semasa hidupnya
selalu ditimpa kemalangan. Ia dapat merasakan betapa berat hidup yang dijalani
wanita itu. Dibalik air mata yang mengalir, ia tahu wanita itu menyimpan
pengalaman pahit yang tidak semua orang mengetahuinya. Ia dapat merasakan. Mata
itu, mata yang kehilangan sinarnya.
“Tidak
ada yang dapat kami perbuat setelah radiasi nuklir 12 tahun silam. Kami kehilangan
segalanya. Orang tua, kerabat, tetangga bahkan tempat tinggal. Tidak banyak
yang selamat setelah kejadian mengerikan itu. Kalau pun hidup, itu karena Tuhan
masih berbaik hati menjauhkan mereka dari marabahaya. Aku dan Khalifa menjadi
satu dari puluhan orang yang selamat. Kami berhasil pergi dari kota terkutuk
itu. Tidak ada yang tersisa, hanya pakaian di badan yang menemani kami hingga
tiba di penampungan. Dan, kejadian mengerikan itu telah memberi dampak negatif
bagi kami berdua. Kami memang selamat, dapat hidup hingga beberapa tahun
setelahnya. Tetapi dampak radiasi itu sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh
kami. Sekarang hanya tersisa kau dan aku, dari sekian juta penduduk yang pernah
hidup di kota itu.”
“Lalu
kakakmu?”
“Lima
tahun lalu ia juga pergi. Selama hidupnya ia sudah bertahan mati-matian akibat
kerusakan jantung yang dideritanya. Ia pernah bercerita kalau kau itu kakak
kelas yang selalu membantunya mengerjakan soal-soal di sekolah. Ia bangga
mengetahui kau mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri persis satu bulan
sebelum kejadian itu. Tidak ada kebahagiaan lain yang dirasakannya selain
menunggu kepulanganmu. Ia bahkan melupakan segala kesedihan mengenai
penyakitnya. Kau mungkin cinta pertamanya yang tidak pernah ia ungkapkan pada
siapapun.”
“
Dan buket itu, itu hadiah ulang tahun darinya. Ia selalu berharap agar kau
tetap hidup bahagia, selalu mengasihi sesama dan jangan pernah merasa kesepian.
Aku akan selalu mengirimkan bunga itu setiap ulang tahunmu, karena kau
satu-satunya orang dari kota kita yang masih sempurna tanpa sedikitpun terpapar
radiasi nuklir. Kau adalah kebanggaan kakak dari dulu hingga sekarang”
***
Atha
menahan isak mendapati seonggok bangunan tua diantara rerimbunan semak
menjalar. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan dari kota tempat tinggalnya.
Semua hanya tersisa kenangan. Masa muda yang ia habiskan bersama keluarga,
teman, kerabat semua sungguh tak tersisa. Benar yang dikatakan Amora, ia tidak
akan menemukan kehidupan lagi di kota ini. Semua sudah lenyap, yang tersisa
hanya kenangan-kenangan lama. Semua tinggal akhir yang menyedihkan.
“
Maafkan aku,” ucap Atha pelan disela perjalanan mereka pulang.
Amora
mengelus pelan pundak Atha.
“
Gempa bumi yang menyerang generator nuklir tidak hanya menyerang kota kita,
bahkan kota tempatku menuntut ilmu pun ikut merasakan dampaknya. Aku masih
ingat kepanikan yang terjadi ketika pagi itu. Semua orang nampak ketakutan,
lari berhamburan menyelamatkan diri, ada yang terpisah dari orang tuanya, ada
yang tergeletak tak bernyawa dibawah reruntuhan bangunan bahkan ada yang sampai
saat ini masih tak percaya dengan kejadian mengerikan itu. Di beberapa sudut
kota masih bisa ditemui panti-panti rehabilitasi tempat menampung orang-orang
yang terguncang jiwanya. Kota itu tak kalah hancur dengan kota kita, dan
sekarang kota itu pun hampir seluruhnya ditinggal penduduknya pindah.”
“
Kenapa kau tidak pulang? apa kau tidak ingin mengetahui kabar keluargamu?”
“
Aku merasa tidak ada harapan lagi hidup di kedua kota itu. Sama seperti kau,
aku juga kehilangan segalanya, bukan? Karena itu aku memilih pergi jauh dari
kedua kota yang membesarkanku. Tapi pada akhirnya aku tetap berada di sebuah
kota dengan generator nuklir dan gempa bumi yang hampir setiap tahun terjadi.”
Wanita
itu hanya tersenyum tipis.
Atha
mengambil foto Amora di dalam dompetnya. “ Ambil lah, benda ini satu-satunya
kenangan yang kau miliki. Maaf aku sudah menyimpannya cukup lama.”
“
Kau dari mana mendapatkan benda ini?” tanya Amora.
Atha
menggeleng. “Aku juga tidak tahu, foto itu sudah lama berada di dompetku.
Sepertinya Khalifa yang sudah menyelipkannya. Ia satu-satunya orang yang pernah
begitu dekat dengan kehidupanku,” Gumam Atha teringat dengan masa remajanya.
Keduanya kembali merenung, mengingat masa-masa yang lalu. Masa sebelum
keegoisan manusia memusnahkan segala ciptaan-Nya.