Hay Si Jenius 1. (Senyawaku Tapi Bukan Sejiwa)
By loker aufit - April 06, 2020
Aku lupa hari itu hari apa. Seingatku, kala itu aku baru saja diterima sebagai anggota OSIS. Organisasi keren di masa SMA yang tidak sembarang murid bisa bergabung disana. Sebenarnya aku hanya beruntung masuk organisasi itu. Niatan sungguh-sungguhku sebatas ingin menyelesaikan masa bakti selama satu tahun. Aku disibukkan beragam program kerja, rapat-rapat penuh cek-cok dan drama cinta antar anggota. Kae, seandainya kau tergabung disana pasti menyenangkan sekali. Kau yang lugas, cerdas dan bersahaja. Hmm, tapi tidak dengan gaya urakkan seperti penampilanmu hari itu, kau sungguh kelihatan menyebalkan kulihat!
Aku harap hari itu bisa melihatmu dengan jelas. Tapi kau justru menyibukkan diri dengan bidak-bidak catur dan ekspresi serius. Kau tidak memedulikan kami yang berdiri di depan menyampaikan jadwal ekstra kulikuler. Kau tidak sedikit pun menunjukkan ketertarikan. Hanya melirik sekilas lalu kembali memainkan bidak catur. Kau tidak memperhatikanku, haha, untuk apa? Aku kala itu tidak ada artinya bagimu. Belum. Belum sampai kisah selanjutnya berhasil kutuliskan.
English club, matamu membulat, kau akhirnya berpaling dari bidak catur itu. English club, eskul baru yang kami rancang di awal kepengurusan dan direspon baik Ketua OSIS serta pembina. Disitu aku tahu kau memiliki ketertarikan dengan bahasa inggris. Orang bijak bilang, jika ingin menguasai dunia, kau harus menyatukannya; bagaimana? Kuasai bahasa inggris dan kau bisa menyatukan dunia dengan perkataanmu.
Kudengar, memang, kau sangat berambisi besar untuk berkuliah ke luar negeri. Kau pasti ingin melihat luasnya dunia ini. Apalagi kau memang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Kau, kudengar juga dari cerita sahabatku, kau penyuka Matematika, pelajaran membosankan yang mengandalkan rumus dalam penyelesainya. Kau mencintai Matematika, selalu memanjakannya dengan mengerjakan puluhan soal-soal bikin sakit kepala. Kau tidak puas jika tidak berhasil menyelesaikan—dan akan penasaran setengah mampus hingga terbawa mimpi; ceritamu, yang kudengar nanti-nanti saat kita bersama.
Poster English Club tertempel di mading kelas, nama-nama siswa yang ingin bergabung sudah ditulis di selembar kertas. Namamu juga tertera disana, itu berkat bujukan temanmu yang ingin agar kau bergabung. Awalnya kulihat kau tidak berminat, orang sepertimu kumpul-kumpul dengan siswa ‘berbeda’ pasti sulit. Tidak akan mudah bagimu untuk beradaptasi. Kau perlu waktu saling menyapa, apalagi diatur-atur oleh penyelenggara eskul yaitu kami
Satu kelemahanmu, kau tidak suka di atur. Dan itu berjalan hingga ke bangku kuliah. Hingga kabarnya kau harus berganti dosen pembimbing karena dinilai menyusahkan. Haha!
Kelasmu bagus. Poster pahlawan menghiasi dinding kelas. Juga tabel periodik khas anak IPA. Aku tidak tahu kau duduk dimana, tapi tasmu tersampir di kursi paling belakang. Untuk ukuran orang sepertimu, duduk dimana saja bukan menjadi masalah, yang penting bisa fokus saat guru menjelaskan dan tidur saat pelajaran dirasa membosankan. Benarkan, Kae. Kau harus mengacungiku jempol karena kemampuan analisisku ini.
Di kelas ini kau dikenal sebagai si jenius. Mengerjakan soal Matematika adalah perkara mudah bagimu, juga pelajaran-pelajaran lain. Kau juga diisukan akan menjadi wakil sekolah di bidang olimpiade sains. Bidang Matematika. Pelajaran yang sangat-sangat kau sukai. Pelajaran yang membawamu ke tahap ini. Pergi dari satu kota ke kota lain. Bertemu banyak penyuka Matematika lainnya. Saling berbagi pengalaman. Nantinya, kau akan menikmati masa emasmu ini, Kae, semoga saja, aku selalu mendoakanmu dari sekarang—hingga nanti.
Hay si jenius, jika ruang kelas tidak menyenangkan sebagai markas , kau akan berpindah ke perpustakaan sekolah yang berada persis di depan kelasmu. Sekali-dua kita pernah saling bertemu. Kau tidak menyadarinya, sedangkan aku—jantungku ingin copot ketika kita berpapasan. Kau membaca banyak buku, mengisi otakmu dengan soal-soal Matematika baru. Aku sering mencuri pandang, berharap tidak ada yang menyadari, ternyata malah ketahuan Ibu penjaga perpustakaan. Lucunya, beliau sampai hafal ekspresi wajahku saat kau dan aku tidak sengaja berpapasan. Kau bersikap biasa, dan jantungku berdetak tidak karuan karena ada kamu.
Tidak kusangka hal ini terbawa hingga sekarang, saat kita secara tak sengaja berpapasan di perpustakaan, bukan perpustakaan sekolah. Tapi di tempat kuliah. Entah aku harus mengutuk takdir atau mensyukurinya. Aku kembali menemukan sepasang mata itu, dengan buku-buku dan bibir menyungging—juga wanita cantik yang terlihat sepantaran dengan usiamu. Hatiku kecewa, tapi otakku berpikir lugas. Ya, akhirnya waktu membawa kita ke tahap sekarang. Dimana yang indah akan lekang dari peredaran. Tidak bisa dicegah, tidak pernah aku pinta.
Hey Kau, katakanlah jika kau pernah mencintaiku. Apakah benar kau menaruh hati? Apa arti kedekatan kita, jelaskan; kau kasihankah? Hanya ingin berbagi? Atau kau suka, tapi hatimu teramat gengsi mengucapkannya.
Kuharap aku bisa mendengar perasaan sayang itu langsung dari mulutmu. Tidak dari seseorang yang mengatasnamakan sebagai temanku. Di bangku kuliah kau ku kira baik-baik saja, kau punya banyak teman wanita. Terlihat bahagia. Nyatanya kau masih sama. Kadang-kadang emosimu tidak terkendali. Kau bisa marah tanpa sebab lalu hanya diam seribu bahasa hingga mengacuhkan sekeliling. Kau tidak bisa selalu begitu, Kae. Pola pikirmu harus berubah, seiring usia yang tak selalu begini-begini saja.
Sebuah pesan singkat masuk ke whatsappku, dia bilang; kau kembali berulah. Apa memang begitu sikap Kaenan jika sedang banyak masalah?
Aku, sebenarnya, malas sekali mengusik hatiku yang telah lama tenang. Aku sudah cukup lama tidak dibayang-bayangi soal kamu. Tapi bagaimana, lah. Untuk tidak peduli denganmu rasanya mustahil. Apalagi disini, dihati, masih ada rasa yang belum selesai.
Kita harus bicara secara langsung, selesaikan semua dan aku bisa pergi dengan tenang. Ke duniaku, dan kau—duniamu.
0 comments