Pustakawan Terbaik

By loker aufit - December 13, 2022


Sources : Pinterest



Petang ini Kiev kembali bergejolak. Serangan artileri negeri beruang merah berhasil meluluhlantakkan dua apartemen mewah di kota itu. Miris. Ditengah gaung perdamaian yang selalu dielukan perserikatan bangsa, masih ada saja pertikaian sengit antar dua negara bertetangga yang menimbulkan banyak sekali masalah bagi negara-negara lainnya.

Kabar peperangan di Eropa sana bukanlah satu-satunya masalah pelik yang menyita perhatianku hari ini. Ada hal krusial yang patut dibahas dalam rapat bulanan nanti ketimbang mengikuti berita peperangan dua negara adidaya yang masih memiliki ikatan saudara itu. Ini tentang pertanyaan wanita berpostur tubuh mini yang skeptis menilai peranan  perpustakaan bagi kaum berkebutuhan khusus. Juga tentang integritas dibalik catatan manis yang bukan sekedar labelitas semata.

***

“Hey, mengapa rak-rak buku di tempat ini tingginya selalu sama, sih?”

Aku menoleh dari balik rak buku lain. Menghampirinya sambil tersenyum ramah. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?”

Wanita itu menengadah. Menatap seulas senyum yang masih menghias di bibirku. “Mengapa kalian  hanya membuat rak buku untuk ukuran orang normal? Tidakkah kalian pikir orang-orang seperti kami juga ingin menikmati fasilitas perpustakaan yang setara dengan orang-orang pada umumnya!”

“Maaf, tapi rak-rak buku di tempat ini memang sudah didesain sesuai standar—“

“Standar orang normal maksudmu?” ia memotong cepat. 

Aku segera menghentikan tugasku mengecek kelengkapan buku di dalam rak. Memutar otak mencari jawaban yang pas untuk menjawab pertanyaan wanita itu. Selama tiga tahun bekerja disini, tidak pernah sekali pun kudengar komplain dari para pengunjung perpustakaan perihal fasilitas di tempat ini. Kurasa, kami sudah bekerja semaksimal mungkin memberikan beragam fasilitas penunjang demi memberikan kenyamanan kepada para pengunjung. Seperti menyediakan meja-meja estetik yang menarik dijadikan spot foto instagramable. Membuat agenda diskusi mingguan bersama penulis lokal demi meningkatkan semangat literasi kaum milenial. Dan yang tak kalah penting, menyiapkan lemari pendingin berisi minuman kemasan yang bebas dinikmati pengunjung tanpa dikenakan biaya sepeser pun.

Aku menyentuh pundak wanita itu. Mengajaknya berdiskusi empat mata di ruangan lain.  Siang ini perpustakaan sedang ramai-ramainya di datangi para pengunjung. Tidak etis rasanya bercakap-cakap di tengah pengunjung yang sedang menikmati bacaannya. Wanita itu menurut, membuntuti langkahku menuju lantai tiga. Sebuah area terbuka yang rencananya akan dikembangkan menjadi tempat santai kaula muda sembari menikmati buku bacaan dan secangkir kopi.

***

Bangunan itu baru setengah jadi, rencananya bulan depan akan diresmikan berbarengan dengan ulang tahun perpustakaan. Alat-alat bangunan berserakan memenuhi lantai, cukup menyulitkan langkah kami mencari tempat nyaman untuk berdiskusi. Wanita itu tidak bicara. Kakinya lincah menghindari potongan kayu dan serpihan keramik di depannya. Berbeda denganku yang sejak tadi terus mengeluh karena tersandung banyak benda. 

Sejak dulu aku memang  bercita-cita mengubah stigma perpustakaan yang kerap dianggap sebagai tempat manusia-manusia kaku yang phile dengan berbagai jenis buku—menjadi tempat kekinian yang selaras dengan perkembangan zaman. Bagiku cita-cita itu sebagian telah berhasil terlaksana melihat banyaknya penghargaan yang kami terima sebagai bukti komitmen untuk turut memajukan literasi bangsa.

Perpustakaan Cerdas, Perpustakaan Berintegritas’ semboyan itu kerap kali kugaungkan ketika mengisi seminar-seminar kepustakaan di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Bangga sekali menjadi pustakawan berprestasi yang namanya sering disebut di media masa baik cetak maupun elektronik. Seorang pemuda desa yang baru seumur jagung mencicipi jabatan PNS, sudah wara-wari  mengisi acara seminar di banyak tempat mengalahkan kesibukan kepala daerah dan wakil rakyat. Jelas, ini bukan sembarang prestasi biasa, toh?

“Kita sudah sampai!” Aku menoleh ke wanita itu. Menunjukkan pemandangan kota yang nampak indah dilihat dari atas tempat ini. “Bagus, kan?”

Wanita itu masih diam. Semilir angin menerbangkan satu-dua helai rambutnya. Ia menatap kosong pemandangan kota. Tidak tertarik dengan kata ‘bagus’ yang baru kuucapkan.

Aku menoleh lagi. “Kau tidak suka?”

“Bagus untukmu, tembok untukku!”

Aku menepuk jidat. Astaga! Aku baru sadar postur tubuh kami sangat berbeda jauh. Ia kurang dari satu meter, sedang aku nyaris mencapai dua meter.

“Kenapa kau mengajakku ke tempat ini? Bukankah perpustakaan memiliki ruang diskusi publik? Kita bisa bicara disana, kan?”

Aku tersenyum. Melipat kedua tangan ke dada. “Aku tidak pernah mendapat kritikan langsung dari seorang pengunjung perpustakaan. Apalagi menyangkut fasilitas tempat ini. Kebetulan ruang diskusi sedang kedatangan penulis lokal. Jadi, tidak apa-apa kan kalau kita bicara disini?  Yah, walaupun sedikit panas dan kotor,  aku perlu membahas rak buku itu sebagai bahan evaluasi dengan timku!”

“Kita memang harus membahasnya, orang-orang seperti kami juga ingin mendapat kesetaraan ketika menggunakan fasilitas negara. Bukan justru mendapat perlakuan berbeda, apalagi sampai diolok-olok layaknya pertunjukan badut sirkus!”

Wanita itu mengela napas sejenak. Membenarkan tatanan rambutnya yang berantakan tertiup angin. Aku menyimak ucapannya. Ini mungkin akan menjadi pembicaraan menarik di agenda rapat bulanan nanti.

“Bagiku, perpustakaan sejatinya adalah tempat ternyaman menikmati buah pikir seseorang yang bisa didapat secara cuma-cuma. Sebagai pengunjung kita tinggal datang, mencari buku yang diinginkan, duduk, dan semua imajinasi penulis secara spontan akan masuk ke alam bawah sadar kita. Tapi bagi kaum difabel, semua itu serba terbatas karena tidak banyak fasilitas penunjang yang dapat memudahkan ruang gerak kami. Contohnya rak buku itu, tidak bisakah kalian mendesain rak buku ramah bagi pengidap dwarfisme? Itu pasti tidak serumit menggelontorkan dana untuk membangun rooftop ini, bukan?”

Aku cukup tertohok mendengar ucapan wanita itu. Ia mungkin tidak ada niatan menjatuhkan harga diriku di depan proyek megah yang menelan dana ratusan juta ini. Juga mungkin hanya iseng mempertanyakan haknya sebagai pengunjung perpustakaan sesuai bunyi sila kedua Pancasila;

‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’ 

“Ya, tentu. Tentu secepatnya akan kami evaluasi! Kami akan membuat ruang khusus bagi pembaca difabel dengan tinggi rak berbeda dari ukuran manusia normal. Itu saran yang bagus! Terimakasih atas kritik membangun ini. Aku sangat mengapresiasi saranmu!” 

Wanita itu tergelak. Melirik sinis diriku. “Haruskah membuat ruang khusus? Memangnya kami tidak boleh membaur dengan orang-orang normal, heh?”

Aku menggeleng tegas. “Bukan. Bukan itu maksudnya! Aku hanya berpikir membuatkan ruang khusus untuk memberikan rasa nyaman bagi kalian. Seperti ruang baca bagi menyandang tunanetra. Kami membuat ruangan itu karena tidak ingin teman-teman terganggu dengan suara bising pengunjung lain. Mereka perlu konsentrasi penuh membaca huruf-huruf braille, kan?”

Wanita itu tersenyum ganjil. Menatap wajahku lekat-lekat. “Sepertinya itu bakal sangat-sangat sulit terealisasi, Pak.”

Kenapa, tidak? Kedua tanganku terlipat ke dada. Enak saja dia menganggap remeh ide brilianku!

“Karena di Indonesia pengidap dwarfisme tidak diketegorikan sebagai penyadang disabilitas. Dwarfisme hanya dianggap kelainan fisik yang tidak memberi pengaruh besar terhadap kegiatan sehari-hari seseorang. Niat baikmu membuat ruang baca bagi pengidap dwarfisme sangatlah aku apresiasi. Tapi nampaknya hal itu agak mustahil terealisasi mengingat tidak adanya undang-undang khusus yang mengatur pengidap dwarfisme ke dalam kategori penyandang disabilitas tertentu!”

Hening, seperti tertampar keras wajahku mendengar ucapannya. Sebagai pustakawan terbaik, rasanya malu sekali orang sepertiku tidak mengetahui  kategori-kategori penyandang disabilitas untuk syarat pengunjung perpustakaan. Aku buru-buru memalingkan wajah menatap jalanan lengang di pukul tiga sore ini. Apalagi kalau bukan menutupi wajah merah padamku.

“Oh, begitu. Maaf aku tidak banyak tahu soal undang-undang tersebut. Tapi aku janji, aku pasti akan membahas saranmu ini di rapat bulanan nanti!”

“Membahasnya? Apakah isu kesetaraan ini hanya sekedar bahasan rapat internal semata? Kau harusnya mewakili penyandang disabilitas seperti kami  ke pemerintah pusat. Bukan malah membahas masalah ini dengan sesama rekan kerja. Kau tidak sedang bercanda kan, Pak Nazri, Pustakawan Terbaik Nasional tahun 2021 serta pemateri seminar kepustakaan terpadat Se-Indonesia. Semoga ucapanku ini bisa menjadi bahan intropeksimu mengemban tugas sebagai abdi negara!”

Wanita itu pergi setelah mengutarakan kritik pamungkasnya. Untuk kedua kali, tamparan keras kembali menghantam wajahku. Ini telak mencoreng wajah pemilik gelar pustakawan terbaik dua periode berturut-turut. Sungguh amat telak!

SELESAI

  • Share:

You Might Also Like

0 comments