Memanggil Rasa

By loker aufit - November 27, 2017

Kala itu malam tak berawan di pelabuhan. Langit musim kemarau nampak cerah berhias ribuan bintang gemintang. Udara dingin terasa membekukan. Jauh dari tempat ini, sekitar tiga kilometer dari pelabuhan, puluhan generator nuklir berjejer membentuk barisan panjang dengan kedipan lampu yang terpantul di perairan. Sayup-sayup terdengar gaungan dari mesin generator, sejak pagi hingga petang suara-suara berisik itu tidak pernah terkendali. Bahkan semakin lama semakin menjadi.

Di kejauhan, area menuju  jalanan metropolis. Suasana terlihat ramai seperti halnya malam-malam sebelumnya. Kota ini tak pernah tidur. Ada saja aktivitas yang terjadi selama 24 jam terakhir, tempat hiburan malam, pusat perbelanjaan, cafe, bioskop, aktifitas-aktifitas yang tak ada hentinya.

Seorang pria berdiri dari posisinya setelah hampir satu jam menunggu kereta cepat yang tak kunjung tiba. Tangannya meraba saku celana, memastikan bahwa ia masih memiliki selembar uang untuk membeli makanan. Mata coklatnya menatap deretan toko penjual makanan. Ia menemukan empat toko makanan yang masih buka. Pria itu mempercepat langkahnya ke salah satu toko penjual makanan, dengan selembar uang yang dimiliki ia mungkin bisa membeli sebungkus roti dan minuman hangat.

Pria itu duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan pembeli lainnya. Ia tak memperhatikan sekeliling, matanya tertuju pada selembar foto yang tersimpan didalam dompet berwarna coklat. Lagi-lagi pria itu terdiam tak kala melihat wajah gadis kecil dengan gaun merah di foto itu.

“Sebenarnya kau siapa?”

Tanggal 21 Maret, pada hari ulang tahun pria itu. Ada saja orang baik yang mengirimkannya hadiah kecil berwujud buket bunga kapas. Setiap tahunnya tanpa pernah absen, ia selalu mendapat kiriman buket tanpa nama pengirim. Bahkan buket bunga itu sengaja diantar tepat ketika jam menunjukan pukul 05.45 pagi.

Tepat dini hari, pria itu tiba di rumahnya yang berjarak 2 km dari stasiun kereta dan 1 km dari pelabuhan. Masih jelas terdengar generator nuklir yang menggaung di kejauhan. Ia tak memperdulikan suara-suara penggangu itu. Tubuhnya sudah sangat lelah memperhatikan keadaan disekitar. Pria itu merebahkan diri pada kasur tua milikinya. Satu-satunya kenangan yang tersisa dari orang tua angkatnya sebelum keduanya meninggal karena serangan penyakit langka.

 Ia telah lama hidup dalam kesendirian, bahkan kesendiriannya telah bertahan hingga usianya menginjak 48 tahun. Setelah berhasil menjadi dosen pengajar di salah satu universitas ternama, ia tetap memilih untuk hidup sendiri. Kadang sebuah ingatan lama muncul dibenaknya, ia pernah memiliki ingatan tentang seorang wanita. Tetapi tidak pernah tahu siapa wanita yang muncul dipikirannya. Ia hanya mengingatnya sekilas, tentang berdiri diantara derasnya hujan bersamanya, menyantap makan di salah satu kedai, bertemu dirinya di perpustakaan, memandang langkah kakinya, melihat senyumnya. Sedang wajahnya? Ia tidak pernah tahu seperti apa wajahnya.

“ Jadi kau yang selama ini mengirim bunga itu?” kata Pria itu.

Wanita yang baru saja meletakkan bunga di teras rumah nampak terkejut.

“Apa sebenarnya tujuanmu mengantar bunga-bunga itu?”

Ia tak menjawab, hanya terdiam sembari langkahnya semakin menjauhi pekarangan.

“Hei kau jangan pergi!!” teriak Pria itu.

Ia memang terlihat menua dari perawakkannya, tetapi fisiknya masih sangat kuat untuk berlari mengejar wanita pengirim buket bunga. Kaki jenjangnya dengan mudah melompati parit kecil dengan puluhan ikan koi yang hilir mudik diantara derasnya aliran air. Wanita itu tampak panik tak kala mengetahui jarak antara dirinya dan pria itu hanya tersisa beberapa meter. Yang ia lakukan hanya terus berlari, menerobos gang-gang sempit, deretan pertokoan, orang-orang berlalu lalang hingga padatnya jalanan di pagi hari.

“Kena kau!!” Pria itu mencengkram erat lengan wanita itu. Ia jatuh terjerembab ke jalanan disaksikan puluhan pasang mata yang menatap mereka heran. Wanita itu tidak dapat berkutik, ia menyembunyikan wajahnya dibalik rambut pirangnya yang tergerai berantakan.

“Kau?” Pria itu tergesa-gesa mengeluarkan dompet dibalik saku mantelnya. Ia memperhatikan sungguh-sungguh foto gadis kecil bergaun merah yang persis sama dengan wanita yang baru saja ditemuinya. “Benar ini kau?” tanya pria itu tak sabaran.

Ia mengangguk patah-patah.

“Kenapa kau harus lari? apa… apa yang salah dengan diriku? kenapa kau selalu mengirimkan bunga-bunga itu? kau ini siapa? apa kita pernah bertemu? Apa kita memiliki hubungan?”

Ia menggeleng pelan.

Pria itu meremas rambutnya. “Lalu untuk apa semua itu? untuk membuatku senang? untuk mengajariku cara bahagia?!”.

“Karena ini keinginan kakak!” ucap wanita itu nyaris menangis.

Seketika senyap menjalar disekujur tubuh pria itu. Ia memandang wanita muda yang menangis di hadapannya. Matanya menatap wajah wanita muda yang semasa hidupnya selalu ditimpa kemalangan. Ia dapat merasakan betapa berat hidup yang dijalani wanita itu. Dibalik air mata yang mengalir, ia tahu wanita itu menyimpan pengalaman pahit yang tidak semua orang mengetahuinya. Ia dapat merasakan. Mata itu, mata yang kehilangan sinarnya.

“Tidak ada yang dapat kami perbuat setelah radiasi nuklir 12 tahun silam. Kami kehilangan segalanya. Orang tua, kerabat, tetangga bahkan tempat tinggal. Tidak banyak yang selamat setelah kejadian mengerikan itu. Kalau pun hidup, itu karena Tuhan masih berbaik hati menjauhkan mereka dari marabahaya. Aku dan Khalifa menjadi satu dari puluhan orang yang selamat. Kami berhasil pergi dari kota terkutuk itu. Tidak ada yang tersisa, hanya pakaian di badan yang menemani kami hingga tiba di penampungan. Dan, kejadian mengerikan itu telah memberi dampak negatif bagi kami berdua. Kami memang selamat, dapat hidup hingga beberapa tahun setelahnya. Tetapi dampak radiasi itu sedikit demi sedikit menggerogoti tubuh kami. Sekarang hanya tersisa kau dan aku, dari sekian juta penduduk yang pernah hidup di kota itu.”

“Lalu kakakmu?”

“Lima tahun lalu ia juga pergi. Selama hidupnya ia sudah bertahan mati-matian akibat kerusakan jantung yang dideritanya. Ia pernah bercerita kalau kau itu kakak kelas yang selalu membantunya mengerjakan soal-soal di sekolah. Ia bangga mengetahui kau mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri persis satu bulan sebelum kejadian itu. Tidak ada kebahagiaan lain yang dirasakannya selain menunggu kepulanganmu. Ia bahkan melupakan segala kesedihan mengenai penyakitnya. Kau mungkin cinta pertamanya yang tidak pernah ia ungkapkan pada siapapun.”

“ Dan buket itu, itu hadiah ulang tahun darinya. Ia selalu berharap agar kau tetap hidup bahagia, selalu mengasihi sesama dan jangan pernah merasa kesepian. Aku akan selalu mengirimkan bunga itu setiap ulang tahunmu, karena kau satu-satunya orang dari kota kita yang masih sempurna tanpa sedikitpun terpapar radiasi nuklir. Kau adalah kebanggaan kakak dari dulu hingga sekarang”

***
Atha menahan isak mendapati seonggok bangunan tua diantara rerimbunan semak menjalar. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan dari kota tempat tinggalnya. Semua hanya tersisa kenangan. Masa muda yang ia habiskan bersama keluarga, teman, kerabat semua sungguh tak tersisa. Benar yang dikatakan Amora, ia tidak akan menemukan kehidupan lagi di kota ini. Semua sudah lenyap, yang tersisa hanya kenangan-kenangan lama. Semua tinggal akhir yang menyedihkan.

“ Maafkan aku,” ucap Atha pelan disela perjalanan mereka pulang.

Amora mengelus pelan pundak Atha.

“ Gempa bumi yang menyerang generator nuklir tidak hanya menyerang kota kita, bahkan kota tempatku menuntut ilmu pun ikut merasakan dampaknya. Aku masih ingat kepanikan yang terjadi ketika pagi itu. Semua orang nampak ketakutan, lari berhamburan menyelamatkan diri, ada yang terpisah dari orang tuanya, ada yang tergeletak tak bernyawa dibawah reruntuhan bangunan bahkan ada yang sampai saat ini masih tak percaya dengan kejadian mengerikan itu. Di beberapa sudut kota masih bisa ditemui panti-panti rehabilitasi tempat menampung orang-orang yang terguncang jiwanya. Kota itu tak kalah hancur dengan kota kita, dan sekarang kota itu pun hampir seluruhnya ditinggal penduduknya pindah.”

“ Kenapa kau tidak pulang? apa kau tidak ingin mengetahui kabar keluargamu?”

“ Aku merasa tidak ada harapan lagi hidup di kedua kota itu. Sama seperti kau, aku juga kehilangan segalanya, bukan? Karena itu aku memilih pergi jauh dari kedua kota yang membesarkanku. Tapi pada akhirnya aku tetap berada di sebuah kota dengan generator nuklir dan gempa bumi yang hampir setiap tahun terjadi.”

Wanita itu hanya tersenyum tipis.

Atha mengambil foto Amora di dalam dompetnya. “ Ambil lah, benda ini satu-satunya kenangan yang kau miliki. Maaf aku sudah menyimpannya cukup lama.”

“ Kau dari mana mendapatkan benda ini?” tanya Amora.

Atha menggeleng. “Aku juga tidak tahu, foto itu sudah lama berada di dompetku. Sepertinya Khalifa yang sudah menyelipkannya. Ia satu-satunya orang yang pernah begitu dekat dengan kehidupanku,” Gumam Atha teringat dengan masa remajanya. Keduanya kembali merenung, mengingat masa-masa yang lalu. Masa sebelum keegoisan manusia memusnahkan segala ciptaan-Nya.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments