SHENAMORA

By loker aufit - August 04, 2018


Ada sebuah kebetulan yang tidakku sukai. Katanya, setiap manusia di bumi memiliki kebetulan yang akan mengubah garis takdir.  Seperti sekumpulan benang,  garis takdir membentuk buhul besar yang saling menyatu  pada takdir lain. Percaya atau tidak, setiap malam sejak kepergianku dari barak militer, hanya kata kebetulan dan takdir yang selalu kuingat. Melampaui ingatan lainnya saat meraih ambisi besar demi karier prestisius ini.

Aku terduduk lemas, peluh seukuran biji jagung membasahi sekujur tubuh, napasku tersengal—seperti ikan yang kehabisan oksigen. Kemana lagi? Aku mendongkak menatap gelap malam di antara bangunan besar menjulang. Mereka seakan mengolok-olok nasib nestapaku; habislah kau Piere. Kau tidak akan selamat!

Aku lebih dari sekedar sadar. Jika dipaksa berlari, aku masih bisa berlari sejauh mungkin dari kejaran pria berlaras panjang. Instingku mengatakan keadaan sekitar sedang bersahabat. Aku memberanikan diri melangkah diantara remang malam. Waspada pada apa saja yang ada di sekitar. Dalam kegelapan hanya ada dua cara yang diperlukan saat terdesak. Pertama, insting bertarung. Kedua, kepekaan menyerang. Meski sudah berumur tatapanku masih setajam elang, begitu juga pukulan, cara menangkis hingga melucuti senjata lawan—masih terlalu awal mengataiku seorang kakek tua.

Drrrrtttt...Drrrtttt...Drrrttt...

Aku terkesiap mendengar suara mesin jahit dari salah satu rumah. Di tengah remang malam jauh dari aktivitas manusia sekitar, seorang wanita bertubuh kurus sibuk menyelesaikan jahitan baju ketiganya. Meski lolongan anjing  membuat bulu kuduk berdiri, tidak ada yang lebih menakutkan dari tatapan kecewa para pelanggan jahitannya.

Wanita itu sibuk menjahit pola kain membentuk setelan baju. Suara mesin jahit kembali menggema di dalam ruangan sempit penuh bermacam jenis kain. Tangannya leluasa mengikuti gerak pola diikuti kelincahan kaki menekan pedal mesin jahit. Dari jarak begitu dekat seorang pria dengan belati di tangan memperhatikannya tanpa mengedipkan mata.  Instingnya mengatakan lebih aman bersembunyi di tempat ini sembari menunggu pria berlaras panjang pergi menjauh. Pria itu mulai mendekat, berjalan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun.  Dilihatnya wanita itu sama sekali tidak menggubris kehadirannya—mungkin tidak tahu. Atau juga berpura-pura tidak tahu.
Persis ketika wanita itu meraih gelas berisi air, sepucuk belati mengilat tepat terarah ke lehernya. Nafas wanita itu terdengar pendek diikuti tatapan ketakutan di wajah. Aku mengarahkan belati, bersiap pada kemungkinan terburuk, sekali saja dia berontak tepat saat itu juga senjataku ini persis mengenai dirinya.

“Berikan benang itu!!!” aku membentak meski dengan intonasi suara wajar. Ia terdiam menatap kosong.

 “Cepat berikan benang itu!!!” aku menunjuk gumpalan benang di sampingnya.

Dengan tangan gemetar ia memberikan gumpalan benang ke tanganku. Meski sangat ketakutan wanita itu tidak berontak saat kubentak. Ia melakukan yang diperintah, tanpa berteriak meminta tolong pada siapa pun di luar sana.

Aku sempat mengabaikan wanita itu, tubuhku begitu lemas setelah berjam-jam lebih menahan sakit dari tusukkan benda tajam. Aku memberikan ruang agar wanita itu bisa bernapas. Melihat wajah piasnya aku tidak sampai hati jika wanita itu pingsan atau mungkin mati ketakutan.
Seorang agen tangguh perlu memiliki skill ketika menangani dirinya sendiri. Aku belajar banyak selama menempa ilmu di barak militer. Kebanyakan dari kami adalah kumpulan orang-orang bermental baja yang berani maju tanpa takut pada kekalahan. Sejak memilih jalan ini konsekuensiku mengemban tugas tidaklah main-main. Lebih dari separuh rekan sesama agen sudah lebih awal mengakhiri misinya dengan pulang membawa nama. Dalam lingkup militer kami adalah barisan orang-orang terhormat, tapi di luar sana kami hanya manusia asing yang digunjing masyarakat karena dinilai tidak respek pada lingkungannya.

Aku hampir separuh hidup menghabiskan waktu bersama tugas ini. Jadi tidaklah aneh melihat tetesan darah, sayatan luka, lebam di sekujur tubuh saat melakukan suatu misi. Aku menyandarkan kepala pada dinding beton bercat kusam, tidak ada cairan alkohol untuk mensterilkan luka, manja, hanya agen pengecut yang memperhatikan hal-hal detail ditengah waktu sempit. Sebisa mungkin aku melakukan operasi kecil dengan alat seadanya. Kulihat wanita penjahit itu berjongkok demi menghentikan rasa gugupnya. Ia tidak berani menatapku, siapa pula yang berani?! Aku terlalu mengerikan bagi warga sipil seperti dirinya.

“Terimakasih!” aku menggelindingkan gumpalan benang pada wanita itu. Namun ia sama sekali tidak memberi respons, ia tetap memegang kedua lutut dengan napas tersengal.

Aku memegang lengannya, meyakinkan kalau aku bukanlah orang dalam pikiran wanita itu. Ia balik menatapku, mata cokelatnya tak berkedip, persis saat itu juga aku menyadari garis takdir berubah ketika kedua mata kami saling bertemu.

Amerika Serikat, 10 tahun lalu.

Awalnya misi yang kulakukan selalu tentang kemanusiaan. Beratus hari kami terbiasa hidup di wilayah konflik dan bertindak sebagai penengah. Kembali ke rumah aku tidak ada bedanya dengan warga sipil lain. Menghabiskan waktu-waktu membosankan di depan TV, menghitung berapa banyak peluru yang gunakan saat berperang dan yang lebih konyol mendengarkan cerita kehebatan tentara saat dikirim dalam misi kemanusiaan di wilayah konflik. Di lingkunganku mereka menganggap Piere adalah seorang tentara yang menjaga keutuhan negaranya. Tugasku tidak lebih mengangkat senjata saat lawan dari negara lain mengusik kedaulatan negeri. Tentara di negaraku dikenal sebagai orang yang setia. Jika mereka mati, maka darah mereka adalah bagian dari sucinya tanah ibu pertiwi. Sayang kesetiaanku sudah terangut oleh pembelotan. Aku jatuh pada lubang besar yang memaksaku berkutat di dalamnya. Jangankan lari, berpikir untuk mengakhirinya saja aku tidak tahu.

Sejak lama aku menaruh hari pada Amerika, karena kedigdayaannya siapa pun bisa menjadi penguasa asal berkeinginan kuat. Kecintaanku pada Amerika semakin menggebu, rasanya aku ingin melucuti kehormatan sebagai tentara demi mendapat satu tempat di negara itu. Aku tidak menyangkal, aku memang egois mengejar hal prestisius. Sampai mendapat kepuasan, disitulah aku akan berhenti mengejar yang kuinginkan.

Ini adalah buhul pertama takdirku, seumur hidup aku tidak mengenal rasa cinta. Walaupun dalam misi kedamaian kami selalu dikaitkan dengan cinta kasih antar sesama manusia. Aku terlalu picik jatuh cinta, egois pada setiap rasa yang datang, menjadi tuli saat lingkungan mengatakan ada seseorang datang kepadaku. Aku menemukannya, Shena, gadis berkulit putih seorang warga sipil Amerika. Lima tahun meniti karier di negeri Paman Sam, aku baru menyadari betapa sulitnya mengemban misi sebagai agen ketimbang tentara perdamaian. Musuhku bukan lagi para diktator atau zionis yang mengancam kedaulatan bangsa. Lebih dari itu. Mereka adalah pembelot—orang-orang yang mengaku cinta pada Amerika tapi diam-diam mengatur strategi menghancurkan kedigdayaannya.

Shena, aku menyerah setiap kali bersitatap dengan wanita itu. Ia memiliki tatapan maut lebih dari sekedar warga sipil biasa. Otakku akan berpikir dua kali ketika berhadapan dengannya. Mendadak aku berubah menjadi Piere yang takluk pada pesona wanita. Ia bukan wanita pemikat yang mengandalkan wajah sebagai senjata. Shena sangat anggun sebagai warga sipil yang kukenal. Bahkan keluarganya tidak satu pun yang menggantungkan nasib di kemiliteran. Shena anak seorang nelayan. Ayahnya nakhoda kapal dan ibunya kelasi. Bersama dua awak kapal mereka mengarungi laut dari satu benua ke benua lain.

Kapal mereka merapat anggun di dermaga pinggiran Amerika, baru saja pulang dari perjalanan jauh Benua Asia. Aku menyaksikan wajah teduh Shena setelah dua bulan lebih tidak bertemu. Saat itu kami sudah menikah. Setelah upacara pernikahan selesai kami kembali pada rutinitas masing-masing. Sama halnya warga sipil lain, Shena juga tidak mengetahui pekerjaan tetapku. Setiap pulang ke rumah aku membawakan sekotak roti gandum untuk sarapan kami. Dia bukan tipikal wanita ingin tahu banyak tentang suaminya. Shena menghormati apapun pekerjaan yang kulakukan. Seorang istri baik untuk lelaki hina macam diriku.
Bertahun-tahun kami menghabiskan hidup bersama dengan kesibukan berbeda. Shena mengikuti jejak sang ayah, menjadi pelaut ulung antar benua. Sedang aku, masih sama sejak pertama kali menginjakkan kaki di benua ini. Aku tetap seorang agen dengan bayaran tinggi. Kaum borju kalangan atas adalah pelanggan setiaku selama berkarier sebagai agen. Jika dihitung, kekayaan yang kupunya tidak lebih dari membeli dua pulau besar lengkap dengan fasilitas resort berbintang lima. Tapi aku memilih hidup sederhana bersama Shena. Tinggal di kampung nelayan. Setiap hari menatap barisan kapal yang merapat di dermaga membawa hasil-hasil laut.

Barisan camar memenuhi tepian dermaga yang ditinggal pergi kapal nelayan. Musim tangkap tiba, waktunya menjemput  salmon di Samudera Pasifik. Para nelayan beramai-ramai meninggalkan kampung.  Bergerak menuju Muara Sungai Fraser di British Kolombia. Hanya tersisa aku, Shena dan barisan camar. Kedua orang tua Shena pun tidak mau melewatkan euforia migrasi besar-besaran ini—mereka bahkan berangkat dua minggu lebih awal.

“Shen.” Aku menggelayut manja di tubuh Shena. Istriku tengah mengandung anak pertama kami. Tubuhnya sedikit gemuk, namun aura keibuannya kian hari semakin terpancar. Aku bangga pada Shena, yang kutahu wanita hamil akan manja pada suaminya dan meminta aneh-aneh untuk di turuti. Shena tidak begitu, dia sangat mandiri di usia kandungan yang sudah menginjak bulan ke delapan. Ia tetap menyiapkan sarapan saat aku berada di rumah, membersihkan kamar tanpa memedulikan beban diperut, menyambutku pulang kerja dengan wajah teduhnya.

“Shen, aku ingin mengakhiri semuanya denganmu.” Aku berbisik di telinga Shena, berharap ia mendengar atau paling tidak merasakan yang baru saja kuucapkan.
Debur ombak mencapai separuh dari ketinggian maksimum, tiang-tiang kokoh penyangga dermaga kembali basah oleh sapuan air laut, kepakkan sayap para camar bersiap mengantarkan datangnya petang. Gerak tangan Shena meraba garis tegas wajahku. Aku terkesiap saat sentuhannya tepat berhenti di bekas luka sayatan melintang sekitar dagu. Shena menatapku, kerutan wajahnya menandakan sebuah tanya. Aku bisa apa? Menjelaskan semua pada Shena? Itu tidak akan terjadi.

Demi tetesan darah teman-teman di barak militer, aku tidak mungkin melupakan sumpah setiaku pada pekerjaan ini. Pembelotan yang kulakukan bisa saja menghapus rasa patriotikku pada negara asal, tapi janjiku terlalu mahal dibalas dengan sebuah pengakuan. Meski Shena adalah istriku—orang yang teramat kucintai. Sulit menjelaskan semua pada dirinya.

Shena mengambil secarik kertas dan pena, menulis beberapa kata di tengah embusan angin yang kian kencang. Rambut tergerainya terombang-ambing mengikuti arah angin. Bisa kurasakan aroma lavender menyeruak saat rambutnya mengenai wajahku.

“Kau merahasiakan sesuatu?”

Ada banyak cara dilakukan untuk menutupi identitas diri. Selama menjadi agen, lebih dari beratus kamuflase kulakukan demi kelancaran suatu misi. Untuk menghilangkan jejak, aku akan mengubah penampilan sesuai lingkungan sekitar. Jika berada di Spanyol maka aku harus menjadi pria Latin bermata cokelat dengan gaya rambut klimis. Jika itu dataran Timur Tengah, maka aku juga harus terbiasa mengenakan gamis beserta sorban besar di atas kepala. Kamuflase pun kulakukan pada gaya berbicara, gestur tubuh, hingga gender. Pernah suatu ketika saat mendapat tugas di Qatar, aku harus menyulap penampilan menjadi wanita arab bercadar. Lucu sekali, bahkan seorang pria arab tertipu melihat kemolekan riasan mataku.

“Luka itu. Jelaskan semuanya padaku Piere!”

Aku cukup terampil menghindari sayatan benda tajam di wajah. Bahkan saat menjadi tentara tidak ada bekas luka satu pun di wajahku sepulang dari menjalankan misi. Aku melakukannya terkendali dan penuh perencanaan. Musuh-musuhku bisa saja terkecoh dengan semua kamuflase yang kulakukan. Tapi tidak berlaku bagi istriku. Sekian tahun bersama, tahu bagaimana pribadi masing-masing, Shena cepat atau lambat akan menyadari siapa sebenarnya sosok Piere. Ia menemukan bekas jahitan melintang dibalik jambang. Seketika beragam pertanyaan melintas di benak Shena. Sama halnya ketika terdesak melawan musuh, aku tidak mau begitu saja mengungkapkan identitasku pada Shena. Manik matanya menunggu jawaban, wajah teduh Shena berubah dingin bersamaan redupnya cahaya senja.

“Katakan Piere!!!” tanda seru sebanyak tiga buah mengisyaratkan Shena tidak sedang bercanda. Aku merebut pena dari tangannya, melemparkan jauh ke laut, Shena menatap geram—mungkin juga terkejut dengan perlakuanku yang sedikit berlebihan. Aku harus menyudahi perdebatan melihat kondisi Shena yang tidak stabil. Wanita hamil cepat sekali tersulut emosi, bahkan untuk hal kecil saja bisa runyam masalahnya jika dibesar-besarkan.

“Aku Piere, suamimu. Percayalah aku selalu membawamu pada kebaikan!” Aku mengambil beberapa helai rambut Shena, menghirup dalam-dalam. Shena terpaku melihat ulahku. Senyum tanggung sedikit terpancar dari wajah dinginnya.

“Kau... ingin... mendengarnya... lagi...?” Aku mengucap setiap kata secara perlahan agar gerak mulutku dipahami oleh Shena. Shena segera menggeleng sebelum aku kembali mengulangi kata yang sama. Aku menghamburkan pelukan pada Shena. Membiarkan tubuh mungil itu merasakan kejujuran yang baru kuucapkan.

                                 ***
Sisa hujan tadi malam meninggalkan aroma aspal basah yang mengganggu indra penciuman. Barisan awan kumulonimbus berkelit menjauh dari langit Kota Jakarta pagi ini. Aku saat itu dalam  posisi tidur telentang di lantai, sebelah tanganku memegang bekas luka di perut sedang sebelahnya lagi menggenggam tangan wanita bermata cokelat yang tidur bersandar pada dinding kusam.

Saat hujan turun menghapus jejak darah di sekitar bangunan kumuh, aku tiba-tiba kehilangan kesadaran setelah bersitatap lama dengan wanita itu. Kebetulan datang seperti rentetan peluru. Satu kali dilepaskan pada musuh, dua-tiga memberondong berbalik arah. Bayangan wajah Shena tidak lagi terkejar setelah sepuluh tahun berlalu. Aku sudah melesat jauh meninggalkan Shena, Amerika dan segala kerakusan di dalamnya. Kedigdayaan Amerika runtuh ketika aku berhasil mengambil satu tempat tertinggi di negara itu, tapi sebuah kebetulan justru berbalik menjatuhkanku ketika mengetahui Shena mati terbunuh di rumah kami. Belum pernah rasanya tubuhku mati rasa melihat tubuh kaku Shena menghilang ditelan tanah pemakaman. Meski pihak medis bersumpah kematian Shena murni akibat kecelakaan terjatuh dari tangga.  Naluri Agenku berdalih kejadian ini sebuah peringatan awal atas segala yang sudah kuperbuat.

“Shena...” Suaraku menggantung di langit-langit ruang. Wanita yang kusebut Shena menatap nanar. Seperti hilang akal, aku mengguncang tubuh kurusnya hingga membuat wanita itu terkesiap. Belum pernah rasa bahagia dam sedih datang bersamaan ke kehidupanku. Bahkan saat mengikat janji suci dengan Shena bukan perasaan bahagia yang aku rasakan, justru aku merasa bimbang mengingat risiko besar menjalankan peran sebagai Agen.

“Shena...” untuk kedua kali aku kembali memanggil namanya. Apakah mereka sama? Aku baru menyadari setiap kata yang terucap dari mulutku itu tidak satu pun dibalas olehnya. Dia diam, mungkin takut. Tapi takut tidak harus dijawab dengan diam.

“...” wanita itu mengarahkan jari telunjuk ke dada,  lalu merapatkan kelima jemarinya seperti gerakan melambai. Aku terenyak, isyarat tangannya kembali mengingatkanku pada sosok Shena. Selain menggunakan tulisan, Shena pernah mengajarkan bahasa isyarat sehari-hari untuk memudahkan kami berkomunikasi. Isyarat “Ya” “Tidak” sebenarnya tidak asing digunakan saat berada di barak militer, namun berbeda halnya bagi penyandang difabel. Mereka memiliki gerakkan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan bahasa isyarat tentara.

“A—M—O—R—A.” Tanganku merasakan susunan huruf membentuk kata “Amora” yang ditulis wanita itu. Bahkan dia berani bertanya balik menanyakan namaku.

“K—A—U?”

Saat cuaca buruk atau musim tangkap berakhir kami biasa menyusuri dermaga sembari menunggu matahari terbenam. Shena tidak pernah kehabisan bahan menceritakan berbagai hal sepanjang jalan. Komunikasi kami hanya terbatas lewat gerak isyarat atau sekedar kontak mata. Tapi percakapan itu terasa menarik karena ditambah beragam ekspresi wajah Shena.

“Piere.” Mataku urung berkedip melihat jernihnya mata cokelat Amora. Bagiku, wanita pemilik mata cokelat cenderung memiliki kepribadian yang elegan. Lihat saja saat kalian menatap matanya, mata itu seperti memiliki mulut yang mengajak untuk berbicara. Dalam setiap kesempatan menatap wajah Shena, sepasang mata cokelat itu tidak pernah sedetik pun lepas dari pandanganku. Mata mengungkapkan banyak makna. Kebohongan, kejujuran, belas kasih, kasih sayang—itulah mengapa makro ekspresi lebih dulu menatap mata seseorang saat menelisik ekspresi lawan bicaranya.

Aku kembali mempercayai kebetulan dan takdir datang di kehidupan seseorang. Melibatkan Amora dalam masalah pelik ini bukan semata-mata keinginan dariku. Tadinya aku hanya meminta pertolongan demi mengobati luka tusukkan benda tajam di perut, lalu pemilik skenario kehidupan menyambungkan buhul takdir satu ke takdir lainnya lewat sebuah kebetulan yang tidak disengaja. Aku meraih ambisiku menjatuhkan Amerika—kehilangan Shena yang tewas secara misterius—pembelotanku diketahui negara asal; aku diusir dan menjadi buronan di banyak negara—hidupku tidak menetap selama berpuluh-puluh tahun, tetapi aku tetap menjalankan misi sebagai Agen bagi kaum Borju pelanggan jasaku—kembali ke negara asal adalah pilihan buruk yang kupilih, tapi harus dilakukan lagi-lagi karena tugas sebagai Agen—usia membatasi gerakku, cepat sekali puluhan tentara dan polisi bahu membahu mengejar buronan negara mereka. Aku nyaris mati oleh serbuan aparat negara—terakhir, aku berakhir di rumah seorang penjahit wanita yang sibuk menyelesaikan jahitan pelanggannya.
Menatap mata cokelat Amora seperti membiarkan ratusan peluru menghunjam setiap kenangan yang hadir di benak.
Setelah buhul takdir sempurna menyatu dan kenangan kehidupan selesai memutar ulang kisahnya, sesak di dada perlahan membuyarkan pandanganku pada mata cokelat Amora. Ada sebuah kebetulan yang tidak kusukai, sebut saja salah satunya pertemuan singkatku pada Amora. Dia, wanita pemilik mata cokelat yang terbangun oleh hangatnya sinar matahari pagi. Wanita selanjutnya yang mengantarku pada buhul terakhir takdir kehidupanku.

Kalau saja nenek moyang bangsa ini bukan berasal dari Bangsa yang berbudi luhur, tidak mungkin pemilik gundukan tanah dengan bunga mawar setengah layu itu bisa merasakan sedikit nikmat negeri yang sudah dikhianatinya. Kembali, takdir memainkan ulang perannya dalam kehidupan. Sepasang mata cokelat menatap gundukan tanah dengan hati bersedih. Mengharap upacara militer yang dipersembahkan bagi prajurit gugur bisa dirasakan sosok Piere. Dia mati di negara sendiri setelah melakukan perjalanan panjang menyatukan buhul takdir hidupnya. Tidak ada letusan senja mengiringi kepergian, tidak ada penghormatan bendera setengah tiang, tidak ada sosok Shena disamping gundukan tanah, tetapi  sepasang mata cokelat lah di tahun-tahun berikutnya tetap setia berkunjung. Menemani.

Selesai











  • Share:

You Might Also Like

0 comments