Sources : Pinterest
Petang ini Kiev kembali bergejolak. Serangan artileri negeri beruang merah berhasil meluluhlantakkan dua apartemen mewah di kota itu. Miris. Ditengah gaung perdamaian yang selalu dielukan perserikatan bangsa, masih ada saja pertikaian sengit antar dua negara bertetangga yang menimbulkan banyak sekali masalah bagi negara-negara lainnya.
Kabar peperangan di Eropa sana bukanlah
satu-satunya masalah pelik yang menyita perhatianku hari ini. Ada hal krusial
yang patut dibahas dalam rapat bulanan nanti ketimbang mengikuti berita
peperangan dua negara adidaya yang masih memiliki ikatan saudara itu. Ini
tentang pertanyaan wanita berpostur tubuh mini yang skeptis menilai
peranan perpustakaan bagi kaum
berkebutuhan khusus. Juga tentang integritas dibalik catatan manis yang bukan
sekedar labelitas semata.
***
“Hey, mengapa rak-rak buku di tempat ini
tingginya selalu sama, sih?”
Aku menoleh dari balik rak buku lain.
Menghampirinya sambil tersenyum ramah. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?”
Wanita itu menengadah. Menatap seulas
senyum yang masih menghias di bibirku. “Mengapa kalian hanya membuat rak buku untuk ukuran orang
normal? Tidakkah kalian pikir orang-orang seperti kami juga ingin menikmati
fasilitas perpustakaan yang setara dengan orang-orang pada umumnya!”
“Maaf, tapi rak-rak buku di tempat ini
memang sudah didesain sesuai standar—“
“Standar orang normal maksudmu?” ia
memotong cepat.
Aku segera menghentikan tugasku mengecek
kelengkapan buku di dalam rak. Memutar otak mencari jawaban yang pas untuk
menjawab pertanyaan wanita itu. Selama tiga tahun bekerja disini, tidak pernah
sekali pun kudengar komplain dari para pengunjung perpustakaan perihal
fasilitas di tempat ini. Kurasa, kami sudah bekerja semaksimal mungkin memberikan
beragam fasilitas penunjang demi memberikan kenyamanan kepada para pengunjung.
Seperti menyediakan meja-meja estetik yang menarik dijadikan spot foto instagramable. Membuat agenda diskusi
mingguan bersama penulis lokal demi meningkatkan semangat literasi kaum
milenial. Dan yang tak kalah penting, menyiapkan lemari pendingin berisi
minuman kemasan yang bebas dinikmati pengunjung tanpa dikenakan biaya sepeser
pun.
Aku menyentuh pundak wanita itu.
Mengajaknya berdiskusi empat mata di ruangan lain. Siang ini perpustakaan sedang ramai-ramainya
di datangi para pengunjung. Tidak etis rasanya bercakap-cakap di tengah
pengunjung yang sedang menikmati bacaannya. Wanita itu menurut, membuntuti
langkahku menuju lantai tiga. Sebuah area terbuka yang rencananya akan
dikembangkan menjadi tempat santai kaula muda sembari menikmati buku bacaan dan
secangkir kopi.
***
Bangunan itu baru setengah jadi,
rencananya bulan depan akan diresmikan berbarengan dengan ulang tahun
perpustakaan. Alat-alat bangunan berserakan memenuhi lantai, cukup menyulitkan
langkah kami mencari tempat nyaman untuk berdiskusi. Wanita itu tidak bicara.
Kakinya lincah menghindari potongan kayu dan serpihan keramik di depannya.
Berbeda denganku yang sejak tadi terus mengeluh karena tersandung banyak
benda.
Sejak dulu aku memang bercita-cita mengubah stigma perpustakaan
yang kerap dianggap sebagai tempat manusia-manusia kaku yang phile dengan berbagai jenis buku—menjadi
tempat kekinian yang selaras dengan perkembangan zaman. Bagiku cita-cita itu
sebagian telah berhasil terlaksana melihat banyaknya penghargaan yang kami
terima sebagai bukti komitmen untuk turut memajukan literasi bangsa.
‘Perpustakaan
Cerdas, Perpustakaan Berintegritas’ semboyan itu kerap kali kugaungkan
ketika mengisi seminar-seminar kepustakaan di berbagai instansi pemerintah
maupun swasta. Bangga sekali menjadi pustakawan berprestasi yang namanya sering
disebut di media masa baik cetak maupun elektronik. Seorang pemuda desa yang
baru seumur jagung mencicipi jabatan PNS, sudah wara-wari mengisi acara seminar di banyak tempat
mengalahkan kesibukan kepala daerah dan wakil rakyat. Jelas, ini bukan sembarang prestasi biasa, toh?
“Kita sudah sampai!” Aku menoleh ke wanita
itu. Menunjukkan pemandangan kota yang nampak indah dilihat dari atas tempat
ini. “Bagus, kan?”
Wanita itu masih diam. Semilir angin
menerbangkan satu-dua helai rambutnya. Ia menatap kosong pemandangan kota.
Tidak tertarik dengan kata ‘bagus’ yang baru kuucapkan.
Aku menoleh lagi. “Kau tidak suka?”
“Bagus untukmu, tembok untukku!”
Aku menepuk jidat. Astaga! Aku baru sadar
postur tubuh kami sangat berbeda jauh. Ia kurang dari satu meter, sedang aku
nyaris mencapai dua meter.
“Kenapa kau mengajakku ke tempat ini?
Bukankah perpustakaan memiliki ruang diskusi publik? Kita bisa bicara disana,
kan?”
Aku tersenyum. Melipat kedua tangan ke
dada. “Aku tidak pernah mendapat kritikan langsung dari seorang pengunjung
perpustakaan. Apalagi menyangkut fasilitas tempat ini. Kebetulan ruang diskusi
sedang kedatangan penulis lokal. Jadi, tidak apa-apa kan kalau kita bicara
disini? Yah, walaupun sedikit panas dan
kotor, aku perlu membahas rak buku itu
sebagai bahan evaluasi dengan timku!”
“Kita memang harus membahasnya,
orang-orang seperti kami juga ingin mendapat kesetaraan ketika menggunakan
fasilitas negara. Bukan justru mendapat perlakuan berbeda, apalagi sampai
diolok-olok layaknya pertunjukan badut sirkus!”
Wanita itu mengela napas sejenak.
Membenarkan tatanan rambutnya yang berantakan tertiup angin. Aku menyimak
ucapannya. Ini mungkin akan menjadi pembicaraan menarik di agenda rapat bulanan
nanti.
“Bagiku, perpustakaan sejatinya adalah
tempat ternyaman menikmati buah pikir seseorang yang bisa didapat secara
cuma-cuma. Sebagai pengunjung kita tinggal datang, mencari buku yang
diinginkan, duduk, dan semua imajinasi penulis secara spontan akan masuk ke
alam bawah sadar kita. Tapi bagi kaum difabel, semua itu serba terbatas karena
tidak banyak fasilitas penunjang yang dapat memudahkan ruang gerak kami.
Contohnya rak buku itu, tidak bisakah kalian mendesain rak buku ramah bagi
pengidap dwarfisme? Itu pasti tidak
serumit menggelontorkan dana untuk membangun rooftop ini, bukan?”
Aku cukup tertohok mendengar ucapan wanita
itu. Ia mungkin tidak ada niatan menjatuhkan harga diriku di depan proyek megah
yang menelan dana ratusan juta ini. Juga mungkin hanya iseng mempertanyakan
haknya sebagai pengunjung perpustakaan sesuai bunyi sila kedua Pancasila;
‘Kemanusiaan yang adil dan
beradab’
“Ya, tentu. Tentu secepatnya akan kami
evaluasi! Kami akan membuat ruang khusus bagi pembaca difabel dengan tinggi rak
berbeda dari ukuran manusia normal. Itu saran yang bagus! Terimakasih atas
kritik membangun ini. Aku sangat mengapresiasi saranmu!”
Wanita itu tergelak. Melirik sinis diriku.
“Haruskah membuat ruang khusus? Memangnya kami tidak boleh membaur dengan
orang-orang normal, heh?”
Aku menggeleng tegas. “Bukan. Bukan itu
maksudnya! Aku hanya berpikir membuatkan ruang khusus untuk memberikan rasa
nyaman bagi kalian. Seperti ruang baca bagi menyandang tunanetra. Kami membuat
ruangan itu karena tidak ingin teman-teman terganggu dengan suara bising
pengunjung lain. Mereka perlu konsentrasi penuh membaca huruf-huruf braille,
kan?”
Wanita itu tersenyum ganjil. Menatap
wajahku lekat-lekat. “Sepertinya itu bakal sangat-sangat sulit terealisasi,
Pak.”
Kenapa,
tidak? Kedua tanganku terlipat ke dada. Enak saja dia menganggap remeh ide
brilianku!
“Karena di Indonesia pengidap dwarfisme tidak diketegorikan sebagai
penyadang disabilitas. Dwarfisme hanya dianggap kelainan fisik yang tidak
memberi pengaruh besar terhadap kegiatan sehari-hari seseorang. Niat baikmu
membuat ruang baca bagi pengidap dwarfisme sangatlah aku apresiasi. Tapi
nampaknya hal itu agak mustahil terealisasi mengingat tidak adanya
undang-undang khusus yang mengatur pengidap dwarfisme ke dalam kategori
penyandang disabilitas tertentu!”
Hening, seperti tertampar keras wajahku
mendengar ucapannya. Sebagai pustakawan terbaik, rasanya malu sekali orang
sepertiku tidak mengetahui
kategori-kategori penyandang disabilitas untuk syarat pengunjung
perpustakaan. Aku buru-buru memalingkan wajah menatap jalanan lengang di pukul
tiga sore ini. Apalagi kalau bukan menutupi wajah merah padamku.
“Oh, begitu. Maaf aku tidak banyak tahu
soal undang-undang tersebut. Tapi aku janji, aku pasti akan membahas saranmu
ini di rapat bulanan nanti!”
“Membahasnya? Apakah isu kesetaraan ini
hanya sekedar bahasan rapat internal semata? Kau harusnya mewakili penyandang
disabilitas seperti kami ke pemerintah
pusat. Bukan malah membahas masalah ini dengan sesama rekan kerja. Kau tidak
sedang bercanda kan, Pak Nazri, Pustakawan Terbaik Nasional tahun 2021 serta
pemateri seminar kepustakaan terpadat Se-Indonesia. Semoga ucapanku ini bisa
menjadi bahan intropeksimu mengemban tugas sebagai abdi negara!”
Wanita itu pergi setelah mengutarakan
kritik pamungkasnya. Untuk kedua kali, tamparan keras kembali menghantam
wajahku. Ini telak mencoreng wajah pemilik gelar pustakawan terbaik dua periode
berturut-turut. Sungguh amat telak!
SELESAI