Anak Galam

By loker aufit - December 29, 2018








Ini surat cinta yang aku tujukan untukmu, Halin. Hari ini, untuk kesekian kalinya surat-surat itu kembali datang padamu. Aku harap kamu punya waktu membaca satu surat yang kutujukan lagi dan lagi untukmu. Pesanku, semoga kamu tidak jenuh. Tidak mempersoalkan seberapa seringnya aku mengirimi surat-surat itu setiap hari. Aku tahu, kesibukan bukan satu-satunya penghalang agar kamu tidak membaca suratku. Luangkanlah waktu sejenak, biarkan otot-otot lelahmu beristirahat, mari kuajak masuk ke duniaku. Dunia yang dulunya juga merupakan bagian dari masa lalumu.
Halin, menjadi besar bersamamu merupakan nikmat tuhan hakiki yang tidak sekalipun dapat digantikan. Aku bersumpah, semesta menjadi saksi bagaimana pertemuan dan perpisahan hanya berjarak jengkalan tangan. Ingatkah kamu pada sosokmu dahulu? Anak dekil yang berlarian di pinggir jembatan Sungai Maluka sambil membawa kelayangan dandang? Lari tanpa kenal lelah meski sudah diteriaki Uma dan Abah untuk pulang. Ingatkah itu Halin?
Haha, menarik sekali masa kecil kita Halin. Kita menghabiskan semua bersama-sama. Tanpa tahu besok lusa manusia-manusia jalang dengan kejam merenggut semua tanpa ampun. Kita terpisah ribuan kilo, kehilangan semua dalam sekejap mata. Bolehlah sejenak aku menghapus air mata yang tumpah, tidak sanggup rasanya menulis sambil bercucuran air mata. Pasti akan basah kertas-kertas ini dengan permohonan agar kita kembali bisa dipertemukan.
Baiklah Halin, sekali lagi aku mengucapkan terimakasih karena kamu berkenan membaca surat ini. Di penghujung petang, entah hari keberapa sebelum perpisahan kita, aku sempat menyaksikanmu menangis tergugu meratapi nasib sialmu. Aktivis lingkungan hidup, penggiat rawa galam sebagai salah satu kebudayaan asal Tanah Laut ditemukan terbunuh di rumahnya secara tragis. Mereka adalah orang tuamu. Uma dan Abah. Kedua manusia ringkih yang turut membesarkanku. Oi, hati siapa yang tidak hancur melihat kucuran air mata itu. Sakit rasanya melihat wajah kalutmu saat menceritakan kondisi mencekam pembelotan manusia-manusia jalang yang merebut paksa tanah Liang Anggang. Ingin sekali aku menghapus air matamu, menguatkan dengan kata-kata ‘baiklah Halin, kamu tidak perlu membalas luka dengan tuba. Jangan mengikuti langkah culas manusia jalang! Kamu bisa melakukannya dengan lebih berkelas. Lebih berbudi pekerti dibanding mereka!”
Khayalanku tampaknya terlampau tinggi, jangankan menguatkanmu dengan kata-kata, menghapus bulir air matamu saja aku tidak bisa. Yang kulakukan justru ikut tergugu. Turut meratapi pilar penting yang melindungi desa kita dari gangguan orang luar. Maafkan aku Halin, saat itu aku tidak bisa membantu banyak. Taji penguasa sangat mematikan. Mereka benar-benar biadab memisahkan kamu dengan Uma-Abah, lalu menjanjikan pendidikan setinggi-tingginya agar keturunan aktivis bisa hidup bermartabat.
Boleh aku tahu apakah di kota besar sana kamu masih menjunjung tinggi adat istiadat desa kita? Katamu dimana pun ‘urang banjar’ berada adat istiadat adalah harga mati untuk dipertahankan. Ya, aku mendengar semuanya. Kisah-kisahmu yang hadir saat kamu jenuh dengan tugas sekolah yang menumpuk. Kamu membenamkan kepala di tubuhku, berusaha mencari sandaran untuk melepas penat. Aku sama sekali tidak keberatan, malah senang karena akhirnya kamu kembali pulang dengan senyum merekah.
Fakta sebenarnya, Halin. Adat istiadat pelan-pelan sudah tergerus pesatnya teknologi mutakhir. Kalau dulu kita bersenang-senang di rawa galam sambil menikmati pemandangan senja. Sekarang faktanya berbeda. Pemandangan senja hanya ditunggu untuk sekedar mencari angle terbaik demi popularitas di dunia maya. Miris sekali aku melihatnya, bahkan hal ini mungkin juga terjadi padamu yang lebih banyak berkutat dengan aktivitas tanpa jeda ketimbang memperhatikan keadaan sekeliling. Pernahkan terbesit di benakmu tentang aku, Halin. Baiklah, kalau aku kamu lupakan tidak mengapa. Tapi bagaimana dengan desa kita? tidak sepantasnya kamu melupakan bagian dari masa lalumu.
Di sini aku tidak sedang menyalahkanmu, Halin. Tidak juga menyudutkanmu dengan kata-kata pedas ini. Aku hanya ingin mengembalikan semua ke jalur yang benar. Konsep pemikiranmu yang sudah di racun oleh manusia-manusia jalang itu. Apakah kamu pernah berpikir mereka hanya memanfatkanmu demi kekuasaan lebih besar. Kamu hanya gurita yang suatu waktu dijadikan hidangan bagi mereka. Merasakah kamu, Halin? Pahamkan kamu dengan isi suratku ini?
Aku ceritakan bagian-bagian penting kisah kita agar kamu segera mengintropeksi diri. Memutar balik alur pemikiranmu pada dunia bisnis menjadi aktivis berjiwa sosial. Ingat Halin, kamu tumbuh dan besar dari tangan aktivis berpengaruh asal Desa Liang Anggang. Sepasang suami istri yang sejak bujang mempertahankan fungsi rawa galam dari campur tangan manusia jalang. Mempersiapkan warisan alam beserta kebudayaan luhur untuk anak-cucunya. Lalu dengan teganya darah daging mereka justru meluluhlantakkan cita-cita mulia ini. Berpikirkah kamu, Halin? Sejauh mana sudah manusia jalang memperalatmu dengan embel-embel kekuasaan. Kamu sudah terpedaya. Jatuh ke dasar jurang kedzaliman!
Kiranya benar mata hitammu tak seteduh sosok Halin ketika masa kanak-kanak. Yang kusaksikan di banyak media, kamu menjelma menjadi pria paling berpengaruh terhadap industri di berbagai daerah. Harusnya aku ikut bersorak atas pencapaianmu. Halin temanku, bocah kecil yang setiap petang selalu menyisihkan waktunya untuk menemuiku, kini menjelma menjadi sosok penting di negeri ini. Kekuasaannya berpengaruh besar pada kebijakan kawasan industri. Ia yang mengatur baik-buruknya suatu kawasan lewat kalimat manisnya. Cling! Bergepok dolar ditangan, maka semua urusan dijamin beres. Isu keselamatan lingkungan dan suara menjerit para aktivis hanya candaan menggelitik yang mengocok perut. Tidak terlampau sulit untuk ia redam.
Aku sedikit lega melihatmu membaca isi surat cinta yang lama terpendam di laci meja. Begitu banyak surat masuk hingga kamu melewatkan yang satu ini. Padahal kalau jeli, kamu bisa menemukan keunikan tersendiri dari surat kirimanku. Miris, kamu teramat sibuk untuk sekedar mengenali tulisan indah yang diabadikan dari secarik bagian tubuhku. Bagaimana teman? Kamu sudah mengenali asal muasal pengirim surat ini? Ya, baiklah. Jangan tersedu di tengah orang banyak seperti saat kamu kehilangan kedua orang tuamu. Tegakkan kepala dan kembalikan lagi impianmu menjaga tanah Liang Anggang.

Aku menunggumu di bawah tiang pancang ekspansi besar-besaran manusia jalang. Kembalilah. Bantulah. Kuasamu kali ini benar-benar dibutuhkan!


Glosarium
Abah   : Ayah/Bapak
Culas   : Curang         
Kalayangan Dandang: Layang-layang Dandang
Uma: Ibu/ Mama













  • Share:

You Might Also Like

0 comments