Ini surat cinta yang aku
tujukan untukmu, Halin. Hari ini, untuk kesekian kalinya surat-surat itu kembali
datang padamu. Aku harap kamu punya waktu membaca satu surat yang kutujukan
lagi dan lagi untukmu. Pesanku, semoga kamu tidak jenuh. Tidak mempersoalkan
seberapa seringnya aku mengirimi surat-surat itu setiap hari. Aku tahu,
kesibukan bukan satu-satunya penghalang agar kamu tidak membaca suratku.
Luangkanlah waktu sejenak, biarkan otot-otot lelahmu beristirahat, mari kuajak
masuk ke duniaku. Dunia yang dulunya juga merupakan bagian dari masa lalumu.
Halin, menjadi besar
bersamamu merupakan nikmat tuhan hakiki yang tidak sekalipun dapat digantikan.
Aku bersumpah, semesta menjadi saksi bagaimana pertemuan dan perpisahan hanya
berjarak jengkalan tangan. Ingatkah kamu pada sosokmu dahulu? Anak dekil yang
berlarian di pinggir jembatan Sungai Maluka sambil membawa kelayangan dandang? Lari tanpa kenal lelah meski sudah diteriaki Uma dan Abah untuk pulang. Ingatkah itu Halin?
Haha, menarik sekali
masa kecil kita Halin. Kita menghabiskan semua bersama-sama. Tanpa tahu besok
lusa manusia-manusia jalang dengan kejam merenggut semua tanpa ampun. Kita
terpisah ribuan kilo, kehilangan semua dalam sekejap mata. Bolehlah sejenak aku
menghapus air mata yang tumpah, tidak sanggup rasanya menulis sambil bercucuran
air mata. Pasti akan basah kertas-kertas ini dengan permohonan agar kita
kembali bisa dipertemukan.
Baiklah Halin, sekali
lagi aku mengucapkan terimakasih karena kamu berkenan membaca surat ini. Di
penghujung petang, entah hari keberapa sebelum perpisahan kita, aku sempat
menyaksikanmu menangis tergugu meratapi nasib sialmu. Aktivis lingkungan hidup,
penggiat rawa galam sebagai salah satu kebudayaan asal Tanah Laut ditemukan
terbunuh di rumahnya secara tragis. Mereka adalah orang tuamu. Uma dan Abah.
Kedua manusia ringkih yang turut membesarkanku. Oi, hati siapa yang tidak
hancur melihat kucuran air mata itu. Sakit rasanya melihat wajah kalutmu saat
menceritakan kondisi mencekam pembelotan manusia-manusia jalang yang merebut
paksa tanah Liang Anggang. Ingin sekali aku menghapus air matamu, menguatkan
dengan kata-kata ‘baiklah Halin, kamu tidak perlu membalas luka dengan tuba.
Jangan mengikuti langkah culas
manusia jalang! Kamu bisa melakukannya dengan lebih berkelas. Lebih berbudi
pekerti dibanding mereka!”
Khayalanku tampaknya
terlampau tinggi, jangankan menguatkanmu dengan kata-kata, menghapus bulir air
matamu saja aku tidak bisa. Yang kulakukan justru ikut tergugu. Turut meratapi
pilar penting yang melindungi desa kita dari gangguan orang luar. Maafkan aku
Halin, saat itu aku tidak bisa membantu banyak. Taji penguasa sangat mematikan.
Mereka benar-benar biadab memisahkan kamu dengan Uma-Abah, lalu menjanjikan pendidikan setinggi-tingginya agar keturunan
aktivis bisa hidup bermartabat.
Boleh aku tahu apakah
di kota besar sana kamu masih menjunjung tinggi adat istiadat desa kita? Katamu
dimana pun ‘urang banjar’ berada adat istiadat adalah harga mati untuk
dipertahankan. Ya, aku mendengar semuanya. Kisah-kisahmu yang hadir saat kamu
jenuh dengan tugas sekolah yang menumpuk. Kamu membenamkan kepala di tubuhku,
berusaha mencari sandaran untuk melepas penat. Aku sama sekali tidak keberatan,
malah senang karena akhirnya kamu kembali pulang dengan senyum merekah.
Fakta sebenarnya,
Halin. Adat istiadat pelan-pelan sudah tergerus pesatnya teknologi mutakhir.
Kalau dulu kita bersenang-senang di rawa galam sambil menikmati pemandangan
senja. Sekarang faktanya berbeda. Pemandangan senja hanya ditunggu untuk sekedar
mencari angle terbaik demi
popularitas di dunia maya. Miris sekali aku melihatnya, bahkan hal ini mungkin
juga terjadi padamu yang lebih banyak berkutat dengan aktivitas tanpa jeda
ketimbang memperhatikan keadaan sekeliling. Pernahkan terbesit di benakmu
tentang aku, Halin. Baiklah, kalau aku kamu lupakan tidak mengapa. Tapi
bagaimana dengan desa kita? tidak sepantasnya kamu melupakan bagian dari masa
lalumu.
Di sini aku tidak
sedang menyalahkanmu, Halin. Tidak juga menyudutkanmu dengan kata-kata pedas
ini. Aku hanya ingin mengembalikan semua ke jalur yang benar. Konsep
pemikiranmu yang sudah di racun oleh manusia-manusia jalang itu. Apakah kamu
pernah berpikir mereka hanya memanfatkanmu demi kekuasaan lebih besar. Kamu
hanya gurita yang suatu waktu dijadikan hidangan bagi mereka. Merasakah kamu,
Halin? Pahamkan kamu dengan isi suratku ini?
Aku ceritakan
bagian-bagian penting kisah kita agar kamu segera mengintropeksi diri. Memutar
balik alur pemikiranmu pada dunia bisnis menjadi aktivis berjiwa sosial. Ingat
Halin, kamu tumbuh dan besar dari tangan aktivis berpengaruh asal Desa Liang
Anggang. Sepasang suami istri yang sejak bujang mempertahankan fungsi rawa
galam dari campur tangan manusia jalang. Mempersiapkan warisan alam beserta
kebudayaan luhur untuk anak-cucunya. Lalu dengan teganya darah daging mereka
justru meluluhlantakkan cita-cita mulia ini. Berpikirkah kamu, Halin? Sejauh
mana sudah manusia jalang memperalatmu dengan embel-embel kekuasaan. Kamu sudah
terpedaya. Jatuh ke dasar jurang kedzaliman!
Kiranya benar mata
hitammu tak seteduh sosok Halin ketika masa kanak-kanak. Yang kusaksikan di
banyak media, kamu menjelma menjadi pria paling berpengaruh terhadap industri
di berbagai daerah. Harusnya aku ikut bersorak atas pencapaianmu. Halin temanku,
bocah kecil yang setiap petang selalu menyisihkan waktunya untuk menemuiku,
kini menjelma menjadi sosok penting di negeri ini. Kekuasaannya berpengaruh besar
pada kebijakan kawasan industri. Ia yang mengatur baik-buruknya suatu kawasan
lewat kalimat manisnya. Cling! Bergepok dolar ditangan, maka semua urusan dijamin
beres. Isu keselamatan lingkungan dan suara menjerit para aktivis hanya candaan
menggelitik yang mengocok perut. Tidak terlampau sulit untuk ia redam.
Aku sedikit lega
melihatmu membaca isi surat cinta yang lama terpendam di laci meja. Begitu
banyak surat masuk hingga kamu melewatkan yang satu ini. Padahal kalau jeli,
kamu bisa menemukan keunikan tersendiri dari surat kirimanku. Miris, kamu
teramat sibuk untuk sekedar mengenali tulisan indah yang diabadikan dari
secarik bagian tubuhku. Bagaimana teman? Kamu sudah mengenali asal muasal pengirim
surat ini? Ya, baiklah. Jangan tersedu di tengah orang banyak seperti saat kamu
kehilangan kedua orang tuamu. Tegakkan kepala dan kembalikan lagi impianmu
menjaga tanah Liang Anggang.
Aku menunggumu di bawah
tiang pancang ekspansi besar-besaran manusia jalang. Kembalilah. Bantulah.
Kuasamu kali ini benar-benar dibutuhkan!
Glosarium
Abah :
Ayah/Bapak
Culas :
Curang
Kalayangan Dandang: Layang-layang Dandang
Uma: Ibu/ Mama