Reuni Angkatan'8
By loker aufit - March 01, 2017
Sinar
mentari menerobos masuk lewat dinding-dinding kaca di ketinggian 50 lantai. Di
kantorku hampir seluruh bangunan terbuat dari kaca, dari sinilah aku bisa
menikmati hangatnya sang mentari yang beranjak naik menampakkan kemasyurannya.
Pagi, suasana kantor masih sepi. Baru lima-enam pegawai kantor yang menampakan
batang hidungnya. Jam masuk memang belum dimulai, masih 40 menit lagi.
Ini tahun ke lima setelah aku memutuskan untuk
bekerja di salah satu kantor yang bergerak dibidang ekspor- impor. Setelah
cukup lama menempuh studi dari jenjang S1 hingga S2, aku dapat meraih impian
masa kecilku. Seperti kebanyakan pegawai lain, aku menghabiskan 12 jam bekerja.
Melototi laptop, berkutat dengan begitu banyak laporan, mengejar waktu bertemu
orang-orang penting di kantor, melakukan rapat melelahkan dan pulang ke rumah
menjelang tengah malam.
Seorang
pria memang harus memiliki kehidupan yang mapan, bukan? mau makan apa
anak-istri kelak kalau hidup saja tidak berkecukupan. Itulah yang selalu aku
tanamkan sejak menempuh semester akhir menjelang S1. Jauh hari aku sudah
memikirkan beragam persoalan hidup. Tentu dari semua persoalan itu, karir
menjadi hal yang teramat penting.
Beruntung
aku mendapatkan karir yang bagus. Bekerja di perusahan ini sedikit-banyak bisa
membantu perekonomian hidupku. Tidak hanya hidupku, tapi juga hidup kedua orang
tuaku. Meskipun dalam keseharian aku tidak seceria dulu. Berbeda, bukan Alif
yang mereka kenal sepuluh tahun lalu. Yang aku dengar dari mereka, aku berubah
sombong, hidupku acuh pada orang-orang yang dulu ku kenal, aku bukan orang yang
bisa menepati janji, dan aku sangat tertutup. Benar, mereka tidak salah
menilaiku. Aku memang berubah. Tuntutan hidup memaksaku bersikap demikian. Tapi
mau diapakan? Aku sudah terlanjur nyaman diposisi sekarang.
Dari
sekian banyak orang yang ku kenal, hanya pagi yang masih setia menemani
keseharianku. Pagi tidak pamrih memberikan kesejukannya setiap kali aku merasa
gusar. Pagi tidak pernah membiarkanku kesepian. Masih ada mentari, gumpalan
awan dan barisan burung yang berterbangan. Hanya pagi yang setia.
Sampai suatu pagi aku menemukan sebuah undangan yang tergeletak di meja kerja. Undangan indah
dengan hiasan tahun 2000 an. Aku tersenyum, undangan reuni angkatan 2008.
Setahun lalu aku juga mendapat undangan serupa. Tapi aku memutuskan tidak datang, saat itu aku baru saja “dapat
jatah” naik jabatan dari bos. Ia mengundangku ke jamuan makan malam. Demi rasa
hormat pada atasan aku melupakan keinginanku bertemu dengan orang-orang dimasa
lalu.
Sinar
mentari menerobos masuk lewat dinding-dinding kaca diketinggian 50 lantai. Aku
berdiri memandang jalanan yang ramai oleh lalu-lalang kendaraan bermotor. Pagi
yang sibuk, di kotaku, dikehidupanku. Aku memegang undangan itu. Masih menimbang-nimbang
apakah akan datang atau tidak. Aku selalu berharap bertemu dengan mereka. Iya,
orang-orang masa lalu. Mungkin karena merekalah aku bisa sampai ditempat ini.
Aku, si kurus-pendek-berkaca mata yang setiap hari jadi korban bully. Setiap
hari harus merasakan tidak jajan karena uang saku dirampas, muka lebam karena
berani melawan preman SMA, dan harus merelakan buku prku di tipe-x untuk
anak-anak nakal itu.
Hampir
20 menit memandang undangan, aku akhirnya membuka sampul depannya. Aneh,
perasaan pertama yang aku rasa setelah membaca alamat yang tertera pada
undangan. Yang aku tahu acara reuni biasa di gelar di restoran mahal, aula SMA,
atau tempat keren lainnya. Tapi undangan ini, rumah sakit mawar? keningku
berkerut tajam.
Kenapa
harus di rumah sakit mawar?
Masa
SMA-ku memang tidak seindah kebanyakan orang. Tidak ada kisah cinta romantis
yang menghiasi hari. Tidak ada teman-teman gokil yang bisa diajak nongkrong di
kantin bibi. Masa SMA-ku “flat”, lebih parahnya ditambah bully yang selalu ku
terima. Aku lebih senang sendiri, diperpustakaan, melototi puluhan buku. Hingga
seterusnya dimasa-masa kuliah. Beruntung sejak S2 kebiasaan itu sedikit-banyak
berkurang. Aku mulai bisa bergaul dengan banyak orang, rekan bisnis, tapi hanya
sekedar “bergaul”.
Aku
tidak punya sahabat seperti orang lain. Aku selalu senang menghabiskan waktu
sendiri. Melakukan hal apa pun sendiri. Pergi ke mana sendiri. Kalau pun ada,
aku hanya punya pagi. Dia tidak bisa disebut sahabat. Lebih tepatnya dia adalah
pelengkap.
“
Pak Alif ada yang ingin bertemu dengan anda” Asistenku Rosa membuyarkan
lamunanku.
“
Ahh. Iya. Dimana dia?” Tanyaku.
“
Dia menunggu di ruang tunggu pak. Tadi saya sudah bilang kalau anda sedang
sibuk, tapi dia memaksa bertemu. Katanya penting,” Jawab Rosa.
“
Penting? Apa dia dari kantor lain? Rekan bisnisku?” Aku bertanya lagi.
“Sepertinya
tidak pak. Saya belum pernah bertemu dia. Mungkin dia teman bapak, sungguh saya
tidak tahu.” Asistenku nampak ragu menjawab pertanyaanku.
Aku
segera pergi untuk menemui orang yang dimaksud Rosa. Teman? Sejak kapan aku
memiliki teman. Aku masih bergumam seraya membuka pintu ruang tunggu.
“Malik?”
Aku
terdiam melihat pria yang kutemui di ruang tunggu. Pria itu menatapku seraya
melemparkan senyum ramah. Ia segera berdiri melihatku melangkah ke arahnya.
“Alif,
lama tidak bertemu,”
Kami
berjabat tangan. Setelah lama sekali tidak pernah melakukan hal itu. Setelah
upacara kelulusan, aku dan dia tidak pernah bertemu lagi. Kami sibuk dengan
kehidupan masing-masing. Aku sibuk melanjutkan kuliah sedang ia kudengar sibuk
meneruskan bisnis loundry keluarganya. Aku mempersilakan Malik duduk, lalu
meminta asistenku untuk mengantarkan dua cup cappucino untuk kami.
Aku
masih ingat bagaimana garangnya Malik mengunciku di toilet SMA. Sebelumnya, ia
sempat mengguyurku dengan seember air. Entah air apa. Ia bersama geng-nya puas
melihat wajah ketakutanku. Aku tidak berani melawan mereka, mereka orang-orang
terkuat. Aku hanya bisa merintih dari balik toilet hingga temanku berbaik hati
membuka pintu yang tadinya diganjal sapu ijuk.
“
Ada apa kamu ke sini?” Tanyaku memulai pembicaraan.
“
Undangan itu... apa kamu sudah membacanya?”
Aku
menganguk seraya memperlihatkan undangan ditangan.
“
Apa kamu bisa datang ke acara itu?”
“
Aku... aku tidak bisa janji. Banyak sekali pekerjaan di kantor, mungkin kalau
sempat aku bisa datang.”
“
Kamu harus datang!” Suara Malik meninggi. Aku menatap matanya, seksama.
“
Apa terjadi sesuatu?”
Malik
mengambil ponsel di saku bajunya. Ia memperlihatkan foto salah satu teman wanita
saat kami masih SMA dulu.
“
Tifa? Ini Tifa?”
Malik
mengangguk.
Tifa,
teman wanitaku saat SMA. Ia juga bagian geng-Malik, satu-satunya wanita di geng
itu. Tifa selalu ikut setiap kali Malik mengerjaiku. Meskipun ia tidak pernah
main tangan, tapi suara nyaringnya bisa membuat kuping siapapun panas.
“
Tifa ingin bertemu denganmu” Kata Malik.
“
Hah???”
***
Meski
orang-orang itu kasar, aku tidak berminat membalasnya. Luka itu biar kusimpan
sendiri. Rasa takut,cemas, tertekan, nanti dengan sendirinya akan pudar ditelan
waktu. Selama masih bisa menikmati pagi, semua rasa itu akan berakhir dan
lenyap tak berbekas.
Aku
sudah memafkan mereka.
Langkahku
tiba di halaman utama rumah sakit, meski jam kerjaku padat aku memilih
meluangkan waktu beberapa jam ke depan untuk “reunian” dengan mereka. Tidak ada
setelah jas mahal-modis yang biasa ku kenakan bertemu dengan para petinggi
kantor. Aku berpenampilan biasa, persis seperti saat-saat di luar kantor. Hanya
memakai kaos oblong dan celana jeans. Sebagai buah tangan aku menyiapkan buket mawar
untuk “teman” ku. Meski sederhana kuharap ia “menyukainya”.
Malik
membawaku ke sebuah ruangan di rumah sakit tempat Tifa dirawat. Aku sedikit
bingung dengan orang-orang yang hadir. Hanya enam. Dan mereka semua adalah
anggota geng yang diketuai Malik. Aku meletakan buket bunga diatas meja lalu
mengarahkan pandangan pada orang-orang disekitar. Bingung? Tentu saja. Siapa
yang tidak bingung berada ditengah-tengah “esk” preman SMA.
“
Tifa sudah hampir dua bulan terbaring di rumah sakit. Dia mengidap kanker otak
stadium akhir. Dulu kami mana peduli setiap Tifa bilang dia sakit kepala. Kami
malah menyuruhnya membeli obat sembarangan. Sampai Anton yang pertama kali tahu
kondisi Tifa sekarang. Dan ia baru saja dibawa ke rumah sakit.” Cerita Malik.
Aku
merapatkan selimut yang menutupi tubuh Tifa. Bermacam selang terpasang ditubuh
gadis kurus itu. Ia sedang tertidur lelap, entah apakah bisa mendengar
percakapanku dan Malik.
“
Kami menemukan Tifa tinggal sendiri di rumah kost. Dia hidup sendiri di kota
ini. Ayah-ibunya katanya sudah meninggal. Sekarang ia malah sakit-sakitan. Kamu
pasti bingung kan kenapa kami mengajakmu ke sini. Padahal aku tahu, kamu tidak
punya waktu banyak di luar jam kerja. Aku menemukan ini di kamarnya, terselip
dibawah tempat tidur.”
Malik
menyerahkan sebuah buku berisi cara cepat menghapal rumus fisika. Buku milikku
yang ku berikan pada Tifa. Meski Tifa masuk dalam persatuan geng, ia
satu-satunya anak IPA dan berotak encer di geng itu.
Aku
menemukan Tifa menangis di belakang toilet wanita, siang itu aku baru saja
dipukuli oleh geng-Malik karena tidak mau menyerahkan jatah uang saku pada
mereka. Awalnya aku tidak berniat menemui wanita itu. Aku takut. Tapi
melihatnya terisak sembari memeluk lutut aku pun berpikir untuk menemuinya.
Dari
cerita singkat itu, aku memberikan buku milikku pada Tifa. Meski dia nakal tapi
disisi lain ia juga pintar. Dan ia pun pasti memiliki mimpi setelah lulus dari
bangku SMA. Aku pun ingin mewujudkan mimpinya.
Apakah
aku dendam pada mereka? sungguh, aku tidak dendam.
“
Tifa menyukaimu Lif. Kalau kamu lihat buku itu, setiap lembarnya penuh
cerita tentang dirimu. Saat kamu dibully, saat kamu sendirian di perpus, saat
kamu juara kelas, saat kamu mendapat nilai UN tertinggi, saat kamu tidak pernah
lagi datang di acara-acara setelah kelulusan, kamu yang menghilang. Dia selalu
merindukanmu.”
Tifa
menyukaiku?
Cinta,
masa SMAku memang jauh dari cinta. Aku tidak memahami perasaan cinta. Saat SMA
aku hanya sibuk belajar, menyendiri dan dibully. Aku bahkan tidak menyangka
hanya karena sebuah buku seorang wanita malah menyukaiku. Ia bahkan menyimpan
rasa sukanya hingga detik ini. Rasa suka pada pria yang 12 jam sehari
menghabiskan waktu dengan berbagai pekerjaan.
***
Aku
akhirnya tahu bagaimana rasanya dicintai itu. Menyenangkan sekali, serasa
diperhatikan. Hidup serasa bermakna- berwarna. Sayang sekali hanya sebentar
perasaan itu singgah lalu ia pergi. Aku hanya sempat memiliki waktu satu minggu
menemani Tifa. Ditengah sakit itu ia
bercerita tentang perasaannya. Kenyataan kalau ia tidak suka melihatku setiap
hari jadi bahan bully. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa karena ia anggota dari geng Malik.
Baik
Tifa, aku sudah memaafkanmu.
Pagi,
aku mengantarkannya pulang pada yang punya. Bersama buket bunga di tangan kiri
dan fotonya ditangan kanan aku menyaksikan tubuh kurus itu menghilang di telan
bumi. Sedih sekali kenapa baru sekarang kami berdua bertemu. Kenapa dulu-dulu
aku tidak pernah menyempatkan waktu menghadiri acara reuni. Bertatap
dengannya-bercakap. Aku malah menemuinya didetik-detik terakhir perjalanan
hidup, disaat nafasnya tersendat-sendat mengucap maaf atas perilakunya. Saat ia
hanya bisa menangis seraya mengataiku “ Kau tampan sekarang”. Ia akhirnya pergi
dengan wajah sendunya.
0 comments