Kepingan waktu

By loker aufit - February 22, 2017


Senja kuning keemasan di ufuk barat menandakan sang raja bersiap kembali ke peraduannya. Para walet lari berhamburan menuju sarang, sedang kalong-kalong keluar dari balik gua berbatu cadas. Kumpulan warna-warni langit senja begitu semarak bak lukisan abadi. Di sini, di tempat ini pertemuan dan perpisahan bersatu padu. Dimana canda dan tangis pernah menghiasi sucinya butiran air pantai.

Kami yang dipertemukan oleh dia, sahabatku. Sebuah persahabatan yang kemudian terjalin amat bahagia. Kami anak pinggiran, pantai dan lautan adalah teman sehari-hari. Kami selalu punya waktu untuk bersama. Dan aku mulai mengenal sosoknya dari waktu-waktu yang sering kami lakukan bersama. Kami bertiga sering menumpang perahu motor untuk pergi ke tengah laut. Paus dan lumba-lumba, mereka menjadi hiburan ditengah keterbatasan kami.

Terlalu lama bersama rasa persahabatanku mulai runtuh, aku menyukainya. Diam-diam aku sering memperhatikan dia. Lelaki berkulit sawo matang dengan mata hitam dan alis tebal. Aku suka mendengar cerita darinya tentang keindahan dunia di luar sana. Ia lelaki yang selalu optimis jika ingin mendapat sesuatu. Namun aku harus menyadari, aku dan dia mustahil menggapai dunia itu. Miskin, terpencil. Itulah keadaan kami.

Kami memang tak seberuntung sahabatku, Yuki. Ayahnya seorang tengkulak hingga uang selalu mengalir ke dompetnya. Yuki anak yang baik, dia selalu membagi kekayaannya pada kami. Kami juga bisa merasakan masakan enak dari dirinya. Tapi ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran ayah ibuku. Mereka tidak suka aku mendapat pertolongan dari Yuki. Mereka akan marah jika tahu Yuki memberikan barang kepadaku. Mereka tidak segan-segan melenyapkan barang itu dari hadapanku.

Miskin bagiku tidak menjadi penghalang untuk meraih cita-cita. Aku dan dia berjanji keluar dari desa ini dan menemukan dunia baru. Kami bersekolah sungguh-sungguh. Dalam keadaan yang serba seadanya kami tetap bersemangat. Aku dan dia hanya beralaskan sendal jepit menuju sekolah sedang Yuki dia memakai seragam rapi dan mengenakan sepatu mengkilap. Perbedaan kami sungguh jauh. Aku mulai cemas akan masa depanku. Apakah kesederhanaan ini akan cepat  berlalu?. Aku ingin melihat kedua orang tuaku tersenyum. Melihat mereka bangga, anak satu-satunya menjadi “seseorang”.
Kekayaan yang dimiliki keluarga Yuki makin menjadi. Tambak-tambak ikan dan rumput laut hampir menguasai sepanjang pesisir pantai desa ini dan semua itu milik keluarganya. Namun sesuatu terjadi dikemudian hari, mereka terlilit hutang. Semua kekayaan itu dirampas dalam sekejap mata. Rumah mereka disita. Dan Yuki, nasib gadis ini jauh lebih buruk dari diriku yang miskin. Dia dipaksa menikah dengan seorang saudagar untuk menyambung hidup keluarganya. Dia pasrah akan takdirnya. Ia mau menerima lamaran saudagar dan menikah seminggu kemudian. Padahal umur saudagar itu nyaris 40 tahun lebih tua darinya.

Aku menangis melihat sahabatku setelah ijab kabul berlangsung. Pasti dia tidak akan punya waktu lagi bersama kami. Dia menemui ku dan menghapus air mataku. “ Aku akan baik-baik saja. Berjanjilah, kamu harus meraih cita-citamu. Jangan sepertiku “ . Aku memeluknya erat. Ia akan melepas masa remajanya dan memulai bahtera itu lebih awal. Kami hanya bisa mendoakan mu Yuki, berbahagialah kamu.
Kami tinggal berdua, aku dan dia. Semangat kami mengejar cita-cita semakin berapi-api. Kekayaan tidak selamanya membuat kamu sukses. Justru kunci kesuksesan kamu adalah kerja keras, pantang menyerah dan berani.

Masa remaja menjadi penghalang kami untuk meraih kesuksesan. Jatuh cinta, perasaan yang wajar dialami remaja berumur 17 tahun seperti kami. Selalu bersama hingga rasa itu semakin kuat. Kami menikmati setiap perasaan itu. Aku bahagia, dia juga bahagia. Kami jadi berani menentang hukum alam. Sampai senja pergi ke pantai memadu cinta.
Aku kehilangan dia di hari itu. Dia diusir dari tempat kelahirannya. Anak lelaki seperti dia pergi dari desa sendirian. Orang tuanya tidak suka melihat kedekatan kami yang sudah lewat batas. Sebelum hal buruk terjadi, kami lebih dulu dipisahkan.
Tangisanku mungkin tak berarti lagi. Setelah dia pergi aku harap aku bisa kembali fokus pada sekolahku. Aku akan kesana menemui dia. Kami akan bertemu disatu masa. Saat kesuksesan sama-sama kami raih.

Aku menyelesaikan sekolah dengan sempurna. Aku bersiap mengejar negeri di luar itu. Hari ini aku pergi dari tanah kelahiranku. Langkah ini rasanya bergetar saat menapaki tiap-tiap barisan papan yang menjadi dermaga tempat persinggahan kapal besar. Ayah ibu menangis melepasku. Putri mereka sebentar lagi akan dewasa. Aku berjanji akan membawa apa yang aku cita-citakan ke desa ini. Aku pasti kembali.

Negeri di luar itu nyatanya keras bagi diriku. Siapa yang lemah maka dia akan tersingkir. Bukan pengalaman yang menentukan siapa yang akan bertahan tapi keberuntungan yang menentukan itu semua. Bertahun-tahun aku merajut mimpi indahku. Menyelesaikan study hingga mendapat gelar sarjana. Air mata haru dari orang tua tidak bisa digantikan oleh apapun. Kebanggaan mereka pada diriku yang berhasil meraih apa yang aku inginkan. Sujud syukurku pada mu ya Rabb...

Sampai hari ini aku belum menemukan dia, bukannya dulu kami berjanji akan bertemu lagi. Dia menghilang atau mungkin dia tidak berada di sini. Aku berusaha mencarinya ke setiap sudut kota. Ke pusat-pusat keramaian. Juga ke berbagai perkantoran. Tak ada hasil yang pasti, aku belum menemukan dia sampai hari ini.

Usia ku sudah 25 tahun keluarga mulai mendesakku agar mengakhiri masa lajang ini. Aku tidak suka dipaksa, hidup ini milikku jangan mencoba mengatur apa yang menjadi hakku. Aku akan bahagia dengan kesendirian ini. Apa yang mereka inginkan memang demi kebaikan tapi jika itu tidak sesuai dengan keinginanku. Aku tak segan-segan menolaknya.

Rasanya mustahil akan bertemu dengan dia lagi. Lewat jendela kamar di lantai 80 aku menangis dalam sepi. Aku lelah harus mencarinya. Aku tidak bisa hanya menunggunya di tempat ini. Mencari dia yang entah kemana, mustahil. Aku pikir selamanya hati ini akan tertutup bagi lelaki lain.

Ya.. sekali lagi aku harus menikmati hidupku. Masih ada mereka disampingku para mahasiswa yang menjadi penyemangatku selama ini. Mereka jadi teman saat orang terdekatku tidak ada. Aku merasa muda bersama mereka.
Mereka sangat menyayangiku bukti rasa sayang itu dituangkan pada perayaan ulang tahunku yang ke 30 tahun.

“ Ibu harus bahagia selalu, cepat sembuh dari kesendirian. Ibu harus bangkit!! “ Seperti itu isi dari surat yang mereka buat. Mereka sangat mengerti aku.

Malam itu aku membuat suatu perayaan sebelum pulang ke kampung halaman. Bersama para mahasiswa, kami makan-makan di sebuah resto.Suasana sangat meriah saat bisa menyatu dengan mereka. Tapi suasana jadi sendu setelah memasuki kamar apartement.
Aku akan menghabiskan waktu seminggu menaiki kapal penumpang. Pergi menuju kampung halaman yang jauh disana. Rasa rindu sudah menusuk-nusuk hatiku. Apa yang terjadi pada desaku setelah lama aku tinggalkan. Aku membayangkan kebahagiaan yang terjadi setelah sampai dikampung halaman. Aku memegang foto kedua orang tuaku.

“ Bu, pak sebentar lagi Nanda akan pulang. Tunggu Nanda di dermaga ya “ Ucapku
Derasnya angin membuat foto itu terlepas dari genggamanku. Aku kebingungan mencari foto orang tuaku. Perasaanku jadi tak enak. Saat itu para penumpang banyak yang berkumpul di bagian luar kapal. Mereka ingin menyaksikan sunset sepertiku. Aku terus mencari foto kedua orang tuaku. Bahkan aku membuat jengkel orang-orang karena perbuatanku.
“ Punya kamu “
“ Oh.. iya, terimakasih!! “ Kataku kegirangan
Orang itu berpaling dari hadapanku, beberapa detik kemudian aku baru tersadar. Aku mencari lelaki tadi, dia yang menemukan foto orang tuaku.
Aku mencarinya di sepanjang bagian luar kapal. Itu pasti dia, aku masih ingat wajahnya. Bahkan suaranya pun aku masih ingat.
Nafasku tertahan setelah melihatnya. Ia berdiri membelakangiku. Ia menghadap laut luas sambil mengambil gambar dengan kameranya. Aku memberanikan diri menepuk pundaknya. Semoga dia memang benar orang yang ku tuju.
“ Ali... “ Panggilku
Lelaki tadi mengangkat kepalanya, ia terdiam mendengar seseorang yang memanggilnya.
Aku merasa bukan dia orangnya, dia bahkan tidak menampakkan wajahnya padaku. Aku kembali lemah.
“ Nanda ? kamu Nanda kan ? “
Aku membalikkan badan sambil menahan air mata. Ia berdiri di depanku. Lelaki yang kini tubuhnya lebih jangkung dariku. Ia menepuk pundakku beberapa kali. Aku bisa mengerti, dia juga tidak bisa menahan rasa rindunya.
“ Kamu kemana aja? Selama ini aku mencari kamu “ Ucap Ali
“  Kamu mencariku? “ Tanyaku
“ Ya.. aku mencarimu sampai hari ini “ Jawabnya

Akhirnya tangisku pecah, aku menangis seperti anak kecil dihadapannya. Ia pun menangis sama sepertiku. Kami sampai tak sadar kalau orang-orang disekeliling memperhatikan apa yang kami lakukan. Hari ini aku menemukan kembali obat hatiku yang pernah hilang. Terimakasih ya Rabb.
Takdir membawaku kembali padanya. Kami bersatu dalam ikatan suci. Pantai dan pasir putih menjadi saksi janji sehidup semati. Aku bahagia bisa mendampinginya. Berjalan beriringan berdua. Melewati setiap lika-liku kehidupan dengannya.

Masa remaja yang kelam telah kami kubur dalam-dalam. Kami siap mengarungi masa dewasa yang sesungguhnya. Disini bukan hanya cinta yang bicara tapi disini komitmen yang harus berdiri lebih kokoh.



                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                      

  • Share:

You Might Also Like

0 comments