Toko Kue Grubi

By loker aufit - December 29, 2018




Ini tahun kedua kami sekeluarga menyulap toko kue grubi milik ibu menjadi toko bangunan.  Alat masak seperti wajan, kompor minyak dan nampan besar telah berganti dengan setumpuk paku payung, ratusan karung semen dan berbagai jenis keramik. Usaha ini bisa dibilang sukses. Betapa tidak, dalam 2 tahun terakhir pelanggan kami telah mencakup hampir seluruh Pulau Kalimantan. Tiap hari ada saja mobil pick  up yang hilir mudik membeli bahan bangunan di toko kami. Kalau bicara keuntungan, jelas, toko grubi milik ibu tidak sebanding dengan toko bangunan kami. Penghasilan dari menjual kue grubi dengan menjual sekarung semen tentu berbeda. Meski awalnya usaha ini sangat ditentang, ibu akhirnya mau menutup toko kue miliknya demi mendirikan toko bangunan kami.

Dan, menjelang tahun ke tiga usaha berjalan, Ibu mendadak sakit. Persis satu minggu sebelum berangkat Haji. Ibu bilang kepalanya kliyengan, kalau berusaha jalan seperti berada di atas kapal. Berasa goyang sana-sini. Aku berusaha mencarikan dokter dan tukang pijat untuk mengobati penyakit ibu, tapi begitulah, nyaris tidak memberi efek apapun. Kami hanya bisa merawat ibu dengan memberikan obat tradisional hipertensi dari tukang pijat. Air seduhan daun salam efektif menurunkan tekanan darah, pesan si tukang pijat. Aku rasa itu cukup manjur. Beberapa pekan setelahnya, aku bisa melihat ibu duduk di kursi ruang tamu sembari memperhatikan anak kami bermain di pekarangan.

Aku memberikan seduhan daun salam yang masih terasa hangat. Asap tipis menyembul dari dalam gelas. Ibu meraih gelas sembari mengucap terimakasih. Lalu secepatnya menyeruput air seduhan seraya diiringi tatapan aneh dariku.

“ Enak bu?” tanyaku pelan.

Ibu tersenyum simpul, “namanya obat mana ada yang enak, Don.” Sahut ibu sembari meletakkan gelas ke atas meja.

“ Siapa tahu enak bu. Biar Doni bikin juga seduhannya buat si Helena yang akhir-akhir ini sering galak sama Ayash,” Candaku

“ Memang istri kamu kenapa? Lagi ada masalah?”

Aku menggeleng, “Enggak, mungkin karena efek hamil muda. Jadi suaminya serba salah. Disuruh begini maunya begitu, disuruh begitu maunya begini. Bingung bu.”

Ibu mengusap kepalaku, “Orang hamil memang begitu. Kamu jadi suami harus sabar. Jangan sampai marah-marah sama dia. Dia udah lelah bawa beban di perut, jangan ditambah-tambah lagi bebannya”
Aku mengangguk pelan.

Istriku tengah hamil anak kedua, karena usaha toko bagunan itu ia jadi bercita-cita memiliki lima anak. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Bahkan Ia sudah menyiapkan kelima nama untuk anak-anaknya.
“Ibu rindu sama toko grubi milik ibu” Ucap ibu pelan
Aku sedikit tersentak.
“ Kemarin ibu ketemu Paman Abdul. Kamu masih ingat tidak?”
                                   
Tentu bu, aku masih mengingat jelas rupa Paman Abdul. Beliaulah yang membesarkan nama toko kue grubi milik kita. Beliau juga yang setiap hari mengantarkan ratusan kue grubi ke berbagai kedai makanan. Dulu Paman Abdul bertubuh tambun dan brewokan, kalau dilihat sekilas, dia mirip perompak di film-film bajak laut. Tapi Paman Abdul tidak seseram penampilannya. Ia baik. Bahkan sangatlah baik. Ia orang yang dari awal merintis usaha kue ini bersama ibu hingga akhirnya toko ini terpaksa harus tutup. Jasa Paman Abdul pada kami jelas sangatlah banyak. Tetapi setelah toko itu berganti dengan toko bangunan, aku hanya bisa memberikan gaji terakhir untuknya yang tentulah tak sebanding dengan segala hal yang sudah ia beri pada toko grubi kami.

“Sekarang dia kurus sekali Don. Kalau kamu melihatnya, pasti kamu tidak akan takut lagi” Canda ibu sambil terkekeh.

Ibu tidak tahu, sebenarnya, nyaris setiap hari aku selalu bertemu dengan Paman Abdul. Ketika itu semua pegawaiku tengah sibuk mengantar pesanan. Hanya ada mobil pick up milikku yang teronggok di garasi. Aku berinisiatif mengantar sendiri pesanan yang kebetulan letaknya tak jauh dari rumah. Dan, disanalah aku bertemu dengannya. Aku sempat tertegun dengan pekerjaan yang dilakukan Paman Abdul. Sungguh tak sesuai dengan usianya sekarang.

“Pemecah batu?” ucapku nyaris tercekat.

Aku menaikan kaca mobil hingga penuh.

“Paman Abdul jadi pemecah batu?” Gumamku keheranan.

Kondisi ibu sudah lebih membaik dari minggu lalu, sekarang ia mulai bisa berjalan dari kamarnya hingga teras. Sesekali ia pun menyempatkan waktu bermain dengan Ayash, anak kami. Atau sekedar bercengkrama dengan para tetangga. Orang-orang yang dulu pernah bekerja di tokonya. Pernah suatu hari aku mendapati ibu tengah menatap figura lama berisi foto dirinya dengan puluhan pegawai toko kue grubi. Ia menatap lama foto itu, lalu tersenyum sembari menunjuk satu persatu pegawainya.

Aku tahu ibu merindukan tokonya, tapi mau bagaimana? Usaha kue tradisional belum tentu menjamin hidup kami di masa semodern ini.

Lagi-lagi aku dan istri dibuat heran dengan tingkah ibu. Ia memintaku mengumpulkan alat dan bahan untuk membuat grubi. Aku meminta Helena untuk membujuk ibu melakukan aktifitas lain. Apa saja. Asal jangan membuat grubi. Istriku sangat paham dengan tabiatku setiap kali mendengar kata “kue grubi”. Aku bukan membenci kue dari singkong berwarna kecoklatan itu, Aku hanya tidak menyukai beberapa kenangan yang ditinggalkannya.

“Harusnya kamu bersyukur. Usaha ibu ini mampu membiayai kuliah kamu hingga selesai. Kita tidak perlu lagi berharap uang bulanan yang simpang-siur dari ayahmu,” ucap Ibu ketika aku mengusulkan mengganti toko kuenya dengan toko bangunan.

Aku terdiam mendengar ucapannya. Meski sedang marah, suara ibu tetap terdengar lembut. Ia sangat jarang membentak-bentak anaknya. Kalau bisa menasehati secara halus kenapa harus dengan cara kasar? Nasehat ibu pada aku dan Helena. Sayang, ibu tidak mengerti. Karena usaha ini aku harus melihat ibu dan bapak berpisah. Aku tidak merasakan lagi kasih sayang bapak setelah sidang perceraian dinyatakan selesai.

                                                                         ***
“Ka, belum tidur” Tanya Istriku ketika mendapatiku tengah tertegun lama di teras rumah.

Aku hanya tersenyum tipis sembari menyuruhnya duduk di samping.

“Mau dibikinin teh?”

Aku menggeleng pelan. “ Kamu masuk gih. Di luar dingin. Besok kan kita mau nyekar. Kamu istirahat saja duluan.” Aku mengelus perut istriku yang mulai membuncit.

Istriku tersenyum getir sembari menatapku berkaca-kaca.

Desa kelahiran bapak memang sangat jauh dari tempat tinggal kami. Seingatku, terakhir kali kami kesini persis 2 tahun lalu ketika mengantarkan ibu nyekar setelah kepulangannya dari menunaikan ibadah haji. Meski berpisah dengan bapak, hubungan kekerabatan dengan keluarga bapak tetap berjalan baik. Sesekali Ibu menyempatkan waktunya untuk nyekar ke makam kakek dan nenek atau hanya sekedar silaturahmi dengan adik-adik bapak.

Kami melewati jalan berbatu menuju makam keluarga bapak. Di kiri dan kanan banyak terdapat makam dari penduduk desa. Alkah keluarga bapak berada di paling belakang, diantara rerimbunan pohon kelapa yang tumbuh menjulang. Aku melihat Ayash dan Lula, kedua anakku, mereka berjalan jingkit ketika melewati deretan makam tetua adat. Ada perasaan lucu melihat ulah kedua anakku. Beruntung Helena buru-buru menasehati kedua anak kami agar memberi salam setiap kali melewati makam.

Aku menatap haru nisan baru yang berada persis disamping nisan bapak. Nisan itu baru dua tahun berada disini. Terletak di tengah-tengah, diantara para sesepuh bapak. Helena menaburkan bunga mawar ke nisan itu. Ayash dan Lula pun tak mau tinggal diam. Mereka membantu ibunya menyiram makam itu dengan air dari bacaan ayat suci.

Semua larut dalam sendu ketika aku membacakan lantunan ayat suci diiringi suara pelan Helena dan semilir angin yang berhembus pelan di sekitaran makam. Anak-anak hanya diam sembari mengelus makam di depan mereka.

“Oma apa kabar,” ucap Lula anak kami yang berusia 3 tahun.

“Oma…Oma. Sekarang bisnis kue grubi kita udah masuk instagram, lho! Mami ternyata jago menjual kue grubinya. Tinggal di foto-foto aja, banyak deh yang datang ke toko kita.” tambah Ayash
Mereka berdua cekikikan setelah berbicara di makam Omanya.

Aku tersenyum kecil.

Seperti yang kuceritakan tadi, dikunjungan terakhir ke makam bapak, mendadak ibu terkena serangan jantung. Persis setelah bercakap dengan seseorang yang dulu pernah hidup bersamanya.

“ Pak… Apa kabar?”

“Bapak tahu tidak, sekarang Doni dan Helena buka bisnis kue grubi lagi. Meski kecil-kecilan Alhamdulillah sedikit banyak bisa membantu para tetangga kita. Ibu senang sekali, sekarang Abdul sudah dapat pekerjaan yang layak.Tidak sakit hati ibu melihat dia harus panas-panasan di tepi sungai. Bapak tidak marahkan ibu membahas Abdul? Dia hanya teman ibu, pak. Orang yang sudah membantu membesarkan toko grubi kita. Bapak harusnya tidak perlu marah dengan Abdul sampai memilih berpisah dengan ibu. Aduh! Maaf pak jadi membahas masa lalu lagi,” kata ibu sambil cekikikan sendiri.

Aku tahu, toko kue itu memang tidak menjanjikan penghasilan besar bagi keluarga kami. Tapi dari toko itu kami bisa menjanjikan mimpi-mimpi besar untuk para pegawai ibu. Hidup memang tidak melulu tentang materi. Hidup juga perihal saling membantu mereka yang sedang membutuhkan.



  • Share:

You Might Also Like

0 comments