Satu Kesempatan (Part 7)
By loker aufit - October 11, 2016
Kami bergerak cepat menuju lokasi festival Peragaan Busana Daur Ulang,
di sana terlihat
banyak reporter yang berjejer di
sepanjang jalan utama tempat yang akan dijadikan sebagai arena catwalk.
Festival ini diadakan setahun sekali saat awal tahun. para seniman yang
berbakat dalam merancang baju daur ulang berkumpul menjadi satu dalam acara
ini. Terlihat para model telah memasuki area catwalk. Mereka berjalan dengan
baju unik hasil daur ulang yang nampak elegan. Tidak hanya para wanita yang
tampil piawai berlenggak-lenggok di area catwalk, para pria pun ikut berjalan
dengan gagah tanpa canggung dengan pakaian daur ulang yang mereka kenakan.
Salah seorang model menarik perhatianku untuk mengambil fokus kamera
padanya. Gaunnya memang terlihat biasa, hanya terbuat dari potongan plastik
bekas air mineral tapi ada satu kelebihan yang membuatnya berbeda dari orang
lain. Ia mengenakan gaun seolah-olah terbuat dari kristal es. Ketika gaun
tertimpa cahaya sinar matahari ia nampak berkilauan layaknya kilauan kristal.
Perancang busananya mungkin bukan orang sembarangan, ia bisa membuat ide
brilian dari plastik botol bekas menjadi gaun. Benar-benar membuatku takjub.
Selain peragaan busana ada juga wisata kuliner yang diadakan oleh
panitia. Disini mata kita dimanjakan oleh banyaknya kuliner dari nusantara yang
tersaji di setiap stand. Tidak mahal kok, aku dan Bagas pun sempat mencicipi
beberapa makan tradisional yang harganya ramah dengan uang saku.
Kami beristirahat sejenak di bawah pohon yang rindang, aku dan Bagas
saling bertukar kamera untuk melihat hasil foto masing-masing. Hasil foto Bagas
sangat mengesankan. Ia lebih menonjolkan ekspresi-ekspresi penonton yang berada
di dekat area catwalk. Terlihat wajah mereka begitu bersemangat menyaksikan
acara tahunan ini. Bahkan beberapa turis asing yang juga terlihat ikut berbaur
dengan warga sekitar untuk menonton langsung.
“ Kebersamaan itu memang benar-benar indah ya Gas” Kataku
“ Benar, kalau saja umat di dunia bisa berdamai seperti ini. Pasti
dunia yang kita tempati ini akan tenang” Sahut Bagas
Bagas mengajukan sebuah pertanyaan padaku “ Kamu serius banget tadi
pagi di depan komputer? Apa yang kamu cari di sana?”
Aku menatapnya dan menjawab pertanyaan Bagas “ aku mencari tahu siapa
sebenarnya Pak Bintang, jadi aku searcing ke google. Ternyata dia fotografer
terkenal di Singapura” Lalu melanjutkan meliat hasil foto di kamera Bagas.
“Aku juga baru tahu kalau dia fotografer terkenal, sangat tidak
diduga-duga” Ucap Bagas begitu kagum
Aku mendekat ke arah Bagas “ Tapi saat aku mencari artikel tentang masa
kecilnya tidak seorang pun yang menuliskannya, aneh bukan?”
Bagas mengerutkan kening. Ia mengambil handphone dan mulai searcing di
google, benar saja, artikel tentang masa kecil Bintang tidak ada satu pun di
daftar pencarian.
“ Benarkan? Tidak ada?” Kataku
Bagas memasukkan handphonenya kembali kesaku jaketnya. Wajahnya
menatapku serius, seperti ingin mengatakan suatu hal yang penting.
“ Jora, asal kamu tahu saja ya. Bintang itu bukan artis, ia seorang
seniman. Tidak penting baginya orang lain harus mengetahui masa kecilnya.
Sebagai seorang seniman, dia hanya menginginkan orang lain mengetahui hasil
karyanya saja. Dia bukan artis yang orang lain bisa dengan bebas mengekpose
tentang dirinya. Jadi wajar saja dia tertutup tentang masa kecil. Dia
meciptakan hidupnya untuk berkarya, bukan mencari sensasi.”
Apa yang dikatakan Bagas sangat benar. Bintang adalah seniman yang
tugasnya menghasilkan karya untuk dinikmati masyarakat. Ia hanya ingin dikenal
dari karya-karya indahnya yang mampu memukau dunia. Karena itu Bintang tidak
canggung berjalan dengan pakaian apa adanya berkeliling kota untuk mencari
inspirasi. Ia hidup dengan sederhana sama seperti seniman lain. Seniman yang
tidak mengharapkan sensasi dalam perjalanan karirnya.
Hari ini kami berhasil menyelesaikan tugas dari para senior. Foto dan
file artikel sudah di kirim ke pihak percetakan. Akhirnya aku bisa kembali
pulang ke rumah. Saat di lift, aku sempat bertemu dengan Bintang yang memakai
pakaian biasa. Inilah dia seniman termasyur dari kantorku. Bangganya setiap
hari aku bisa melihatnya. Apalagi sampai bersisian seperti ini.
Di lain tempat, kantor BMKG sudah nampak lengang. Para pegawai yang
sejak pagi bekerja satu persatu meninggalkan kantor untuk pulang. Tersisa satu
orang yang sejak tadi masih menghadapi monitor di depannya. Wajahnya nampak
lesu memandang monitor, ia terus saja teringat kata-kata seseorang yang dulu
pernah berarti baginya.
“ Jora itu anakmu Irene, dia anak kita berdua. Setelah perpisahan kita
ku pikir ia akan bahagia hidup dengan ibunya. Tapi apa? yang ku saksikan
sekarang tetap sama. Ia masih takut padamu!. Kenapa kamu begitu egois
dengannya? Salah apa dia denganmu Irena?”
“Aku menyerahkan Jora padamu karena aku tahu, aku tidak akan mampu
mendidik dan merawatnya dengan sungguh-sungguh. Aku seorang polisi, pekerjaanku
berat. Aku tidak ingin ia kesepian karena harus selalu ku tinggalkan. Aku pikir
kamu paham kenapa hak asuh itu aku berikan padamu.”
Ia menggenggam erat lembaran kertas di tangannya lalu melempar semua
kertas itu ke lantai. Entah apa yang harus dilakukan, wanita itu hanya bisa
menangis.
“ Jangan terlalu egois dengan pekerjaan Irene. Jora anak kita
satu-satunya. Bahagiakan dia, walaupun ia tidak bisa mendapatkan kebahagiaan
dari kita berdua tapi paling tidak ia bisa merasakan kebahagian dari dirimu”
Mobil melaju kencang menuju kantor majalah Potret. Tidak ada kata
terlambat untuk memulai semua dari awal. Meski perceraian tidak bisa dielakkan
antara mereka berdua. Mereka masih punya tanggung jawab bersama. Putri semata
wayang mereka. Meski terlihat begitu ceria di hadapan teman-temannya. Hati
seseorang siapa yang tahu bagaimana rapuhnya.
“ Itu mobil mama ya” Gumamku
Pintu mobil terbuka, dari dalam keluar seorang wanita dengan seragam
BMKG yang masih rapi.
“ Ayo pulang, Jora” Ucapnya canggung
Aku tersenyum bahagia, ada apakah ini gerangan, kenapa mama tiba-tiba
menjemputku. Wajahnya juga tidak semenakutkan dulu. Ia beberapa kali tersenyum
juga memasangkan sabuk pengaman saat di dalam mobil.
“ Tumben mama jemput Jora, tadi mama abis lewat sini ya?” Tanyaku
“ Enggak, mama emang mau jemput kamu”
Mama memasang sabuk pengamannya lalu menyalakan mobil. Ada perasaan
canggung antara kami berdua. Aku masih ingat terakhir kali kami naik mobil
bersama saat aku diwisuda kurang lebih dua bulan yang lalu.
“ Maaf Jor” Ucap mama
Aku menengok ke arahnya, orang yang ku sayangi itu mulai meneteskan air
mata.
“ Maaf kenapa ma?” Tanyaku
“ Selama ini mama egois, mama selalu sibuk dengan pekerjaan. Mama tidak
pernah memperhatikan kamu” Jawab mama
Aku melepas sabuk pengaman dan memeluk mama erat “ Mama sibuk tujuannya
juga mulia kan? Biar aku bisa sekolah tinggi, biar aku hidupnya enak. Apa yang
perlu dimaafkan sih ma, Jora ngertiin mama kok. Apa lagi sekarang Jora udah
bisa cari uang sendiri. Jora baru tahu kalau ternyata kerja itu susah dan lelah
banget”
Mama semakin tenggelam dalam isaknya, sebagai anak aku hanya bisa
memeluk sambil berkata “ Jangan nangis ma ”. Butuh beberapa waktu sampai mama
benar-benar bisa tenang. Ia mengeluarkan semua yang selama ini mengganjal di
hatinya. Dan aku merasa lega, semoga dengan begini hubungan aku dan mama
semakin dekat juga akrab.
“ Coba kamu bisa nyetir, sekarang kamu bisa gantiin mama bawa mobil.
Biar mama bisa bersihin maskara yang luntur”
Aku tertawa kecil melihat mama yang sesekali menengok ke kaca spion.
“ Padahal hari ini Jora mau ke supermarket ma, mau beli makanan”
Mama melotot ke arahku “ Ke supermarket? Tapi dandanan mama...”
Aku menyela dengan cepat “ Mama gak make up tetap cantik kok, percaya
deh!”
0 comments