Satu Kesempatan (Part 4)
By loker aufit - October 05, 2016
Lagi-lagi Bagas menghentikan langkahnya dan meraih kepalaku lalu
mengusap rambutku pelan.
“ Tidak, walaupun dia sendiri aku tidak akan kembali padanya. Itu
menyakitkan, tidak hanya untukku, tapi juga untuknya. Mengembalikan pecahan
kaca tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan?” Ucap Bagas
Satu pelajaran yang dapat aku petik dari kisah Bagas hari ini.
Mengikhlaskan meski itu hal yang menyakitkan. Memilih untuk tidak memiliki demi
kebahagiaan masing-masing. Jika hal itu aku lakukan untuk mengikhlaskan Zian,
pasti aku akan mendapatkan kebahagian tersendiri meski bukan dengannya.
Kita boleh berangan-angan kalau orang yang kita cinta pasti berakhir
bersama kita. Tapi ini dunia nyata, ada batasan dimana angan-angan itu harus
kita wujudkan dan harus kita lepaskan. Mereka benar, berpuluh tahun aku
menunggu Zian dengan harapan ia kembali tapi tidak pernah sekalipun ia ku
temui. Mulai sekarang aku harus belajar ikhlas dan membuka hati untuk cinta
yang baru.
Ada perintah dari senior fotografer di kantorku, mereka mengatakan kami
akan keluar daerah untuk mengabadikan pemandangan alam Indonesia. Khususnya
untuk mengisi blog “Pesona Indonesia”. Sebelum berangkat, kami didriving oleh rekan-rekan fotografer
bagaimana cara menggunakan angle
kamera agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Pemimpin rapat ini sendiri adalah
Bintang, Pak Bintang panggilannya.
“ Kalian harus membawa banyak baju hangat, pemotretan kita berada di
puncak gunung untuk mengambil sunset awal tahun 2016. Jangan sampai ada yang
sakit karena kedinginan, mengerti!?” Kata Kak Marco ketua fotografer kami.
Aku, Bagas dan keempat juru foto lainnya mengangguk dengan semangat.
Kami diberi kesempatan selama dua jam untuk pulang ke rumah. Banyak
sekali persiapan yang harus di bawa. Ini menjadi kali pertamaku menginjakkan
kaki di puncak gunung. Aku harap tidak banyak kendala yang aku hadapi nantinya.
Aku kembali paling awal ke kantor bersama tas ransel penuh pakaian.
Bintang yang tengah duduk di lobi utama memanggil ku dengan nada datar. Ku
pikir hanya dia atasan yang sikapnya begitu dingin.
“ Jora, kemari kamu” Kata Bintang
Aku melangkah pelan, aku rasa sejak tadi tidak melakukan kesalahan.
Tapi kenapa ia memanggilku sedingin itu.
“ Iya, ada apa” Sahutku
“ Kamu yakin dengan tugas kali ini? Bukannya kamu tidak memiliki
sertifikat pecinta alam. Apa hal ini tidak berbahaya buatmu?” Tanya Bintang
“ Saya sebenarnya cukup khawatir Pak. Tapi, saya bersama orang-orang
yang hebat dan saya yakin bisa melaksanakan tugas ini dengan baik” Ucapku
“ Baguslah kalau kamu percaya diri, cepat siapkan barang-barangmu.
Sebentar lagi kalian berangkat”
Kami berangkat dengan mengendarai bus mini milik kantor. Perjalanan
menuju puncak gunung masih memakan waktu 2 jam. Percakapan-percakapan menarik
tercipta ditengah lelahnya perjalanan jauh ini. Seperti cerita salah satu
seniorku yang harus meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua. Dan percakapan
menarik lainnya.
Ku lihat di belakangku Bagas sedang terlelap dalam tidurnya. Sesekali
terdengar suara dengkuran halus yang samar diantara riuhnya suara canda di
dalam mobil.
“ Jora... Jora, bagun Kejora” Panggil Bagas.
Mataku terlalu berat untuk terbuka karena udara dingin yang menyusup ke
seluruh tubuh. Bagas memakaikan syalnya ke leherku.
“ Sudah sampai ya? dingin sekali di sini” ucapku
Bagas menarik kelopak mataku ke atas agar aku segera membuka mata. Pria
yang usianya tiga tahun lebih tua dariku ini membuatku merasa kesal.
“ Kita harus cepat! Masih sekitar 8 jam untuk mendaki ke atas sana”
Setelah merenggangkan tubuh sejenak , kelompok kami satu persatu mulai
berjalan estafet menuju jalan setapak
yang sedikit curam. Sesekali langkah ku terhenti untuk menemukan pegangan
sebelum melanjutkan perjalanan. Hutan begitu sepi ditengah hari begini. Walau
kami berenam aku tetap saja mencemaskan hal-hal yang tidak masuk akal. Seperti
membayangkan sekumpulan singa lapar yang bersiap menerkam kami.
Setelah 2 jam berjalan, ketua kami mengintruksikan untuk beristirahat
sejenak. Aku bersandar di pundak Bagas, tenagaku benar-benar terkuras selama 2
jam perjalanan ini. Belum lagi udara dingin yang begitu menusuk.
“ Kamu baik-baik saja?” Tanya Bagas
“ Iya, hanya kakiku yang sedikit lelah karena tidak biasa mendaki”
Jawabku
“ Ayo semangat! Kita pasti bisa!” Kata Bagas mengelu-elukan kalimat
penyemangat.
Perlahan kami melanjutkan menuju pos kedua, waktu menunjukan pukul 2
siang. Kami harus bergegas sebelum malam menyelimuti gunung ini.
Pos dua sudah berhasil di lewati begitu juga pos empat dan sampai pos
enam sedikit lagi kami akan sampai di puncak gunung. Keringat deras membasahi
leherku, walau di sini dingin tetap saja badanku mengeluarkan reaksi untuk
menyeimbangkan suhu tubuh. Beberapa meter lagi puncak gunung sudah terpampang
dengan jelas. Aku menyeringai tak sabar ingin segera tiba di atas. Bersama 6
orang lainnya kami saling bahu membahu menaiki puncak gunung yang memiliki
kemiringan tajam. Cukup sulit bagiku yang hanya seorang pemula, tapi
teman-teman terus memberi semangat agar aku tetap berjuang. Syukurlah, kami
tiba tepat waktu sebelum matahari terbenam.
“ Ngeliat apa? “ Tanyaku
Bagas menoleh “ Sahabat kamu” Jawab Bagas
Aku mengerutkan kening, siapa sahabatku.
“ Bintang kejora, dia muncul di ufuk barat sana. Lihat, cahayanya
begitu indah dibanding bintang-bintang lainnya” Kata Bagas
Aku tersenyum, ternyata yang Bagas maksud ialah bintang kejora. Kami
berdua duduk di atas batu sambil menyaksikan bintang kejora di langit yang mulai
gelap.
Pagi-pagi benar sekitar pukul 04.00 kak Ana membangunkan ku dari tidur.
Ia bilang kami harus bergegas mencari posisi untuk mengambil sunset pertama
tahun 2016. Saat berjalan aku masih saja belum sepenuhnya membuka mata. Udara
dingin di sini mampu menyihir siapa saja untuk tidur dengan lelap.
“ Ingat ambil angle kamera yang bagus!. Gunakan semua trik menawan
kalian. Frog Eye, Bird Eye, High Angle,
Low angle, Eye view. Lakukan yang terbaik untuk pemotretan kali ini!”
Perintah Bintang
Semua kata-kata itu terngiang di kepalaku, ia benar-benar total
menjalani tugasnya sebagai senior fotografer. Gayanya memberi arahan pada kami,
sorot matanya ketika menatap mampu membuat siapa saja tidak bisa mengedipkan
mata.
Ketika sunset datang kelima fotografer sudah berada di posisi
masing-masing. Sedang satu orang yang tersisa mengarahkan agar kami mengambil
angle dari sudut yang bagus.
“ Aku pasti membuatnya bangga” Gumamku
Kami mulai memotret detik-detik kemunculan Sang Raja dari balik
awan-awan putih lembut yang memantulkan cahaya keemasan. Suasana kedatangan
tahun yang baru amat kentara terasa. Sang Raja seperti mengajak kita untuk
bangkit dari tahun 2015 menuju 2016.
Aku bersorak senang, angle foto perintah dari Bintang berhasil aku
gunakan dan menuai hasil yang memuaskan.
Cahaya matahari yang mengenai sekujur tubuh tetap tidak bisa
mengalahkan dinginnya udara di sini. Seberapa tebalnya kami mengenakan jaket
tetap saja ia berhasil menerobos masuk.
Beberapa teman sibuk memasak sarapan sedang aku dan fotografer lainnya
masih menanding hasil foto masing-masing. Teman-teman juga mendapatkan hasil
foto yang bagus. Sebagai penutup dari perjalanan ini kami berfoto bersama di
atas puncak gunung. Menyaksikan betapa indahnya pesona alam Indonesia tercinta.
Semangkuk mie instan ini cukup membuat perutku terasa kenyang. Menu
yang terhidang memang sederhana tetapi ketika semua itu disatukan dengan
kebersamaan, makanan ini terasa sangat istimewa.
“ Jora, kamu mimisan” Kata Bagas
Aku melongo, lalu beberapa saat kemudian menyekanya dengan syal yang
tergantung di leher.
“ Pasti gara-gara dingin, nanti juga kering” Kataku
Bagas memperhatikanku dengan perasaan cemas. Diantara kami tidak ada
yang pandai mengobati luka jadi aku hanya di beri tisu untuk menghentikan
pendarahan.
“ Apa hal ini yang membuat kamu tidak pernah mendaki gunung?” Tanya
Bagas
“ Enggak kok... bukan karena mimisan. Sejak kecil aku sering mimisan
kalau udara di sekitarku sangat dingin.” Jawabku
Bagas mendapati jawaban dariku yang sedikit terbata-bata. Seperti ada
yang sengaja di tutup-tutupi.
“ Ceritakan saja, siapa tahu aku bisa membantumu” Kata Bagas
Aku menghela nafas, ini menjadi kali pertamanya aku menceritakan hal
yang kupendam kepada teman baruku.
0 comments