Mataku berbinar-binar melihat sosok polisi gagah yang tengah berdiri di
hadapanku.
“ Papa..” Kataku
Aku memeluk papa dengan erat. Selama tiga tahun ini aku tidak pernah
bertemu Papa. Tepatnya saat ia di pindah tugas ke daerah lain.
“ Jadi kamu bekerja di sini sebagai fotografer? Papa pikir kamu akan
mengikuti jejak Mama mu” Kata Papa
“ Enggak lah Pa, Jora ya Jora. Mama ya Mama. Ini kan hobbi Jora sejak
kecil” Sahutku
“Ya sudah, ayo naik! Biar Papa antar kamu ke rumah” Perintah Papa
Aku segera menaiki motor polisi yang besar ini. Tidak lupa, aku
berpegangan erat di pinggang Papa. Papa juga sesekali mengelus-elus kepala anak
semata wayangnya ini.
Walau berumur 45 tahun Papa masih terlihat gagah dan tampan. Orang
mungkin tidak akan percaya kalau Papa menyembutkan umur dirinya. Selama ini
Papa juga masih sendiri sama seperti Mama. Setelah perceraian itu mereka
sama-sama tidak menikah. Mereka hidup dengan cara masing-masing. Aku selalu
berharap keluargaku bisa menyatu kembali. Tapi ku rasa sangat sulit, mereka
berdua terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ada yang mau mengalah satu
sama lain.
Kami berdua telah tiba di depan rumah, aku membunyikan bel agar Mama
membukakan pintu pagar.
“ Mama mungkin sudah tidur Pa” Ucapku
“ Coba hubungi dia, mungkin dia tidak mendengar suara bel” Kata Papa
Aku hanya diam ketika Papa memerintahkanku, Papa menghela nafasnya. Ia
tahu aku tidak pernah berani menelpon mama, mungkin sekarang ia tengah sibuk di
ruang kerja. Dan berpura-pura tidak mendengar kalau aku sejak tadi memanggilnya
di luar.
“Biar Papa yang telpon” Kata Papa
Aku menyerahkan handphoneku pada Papa.
Ia agak menjauh dariku saat Mama mengangkat telpon, aku tidak mendengar
persis apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian Mama membuka pintu pagar.
Tatapannya begitu tajam saat melihat Papa. Papa juga melakukan hal sama.
“ Aku masuk dulu Pa, terima kasih atas tumpangannya” Kataku memecah
kebisuan.
Papa mengelus kepalaku dan membiarkanku memasuki rumah.
Saat aku berada di dalam rumah,
Mama dan Papa masih berbicara serius di depan sana. Bahkan hingga mereka
berpisah bertahun-tahun lamanya hubungan mereka tetap tidak bisa membaik.
“ Benar-benar keluarga yang menyedihkan” Ucapku
Pagi sebelum berangkat ke kantor, aku menyempatkan mampir di sebuah toko buku milik temanku Nia.
Temanku itu menjadi salah satu saksi bisu kecelakaan yang kami alami 14 tahun
lalu. Aku lebih beruntung dari Nia, setelah kecelakaan terjadi ia harus
merelakan kedua kakinya diamputasi. Pasti sangat berat hidup dengan bertopang pada
kursi roda, tapi Nia begitu kuat. Ia tidak menyalahkan siapa pun atas
kecelakaan yang membuat dirinya cacat. Yang ia lakukan hanya bersyukur karena
sampai detik ini ia masih bisa menghirup nafas kehidupan dari Yang Maha Kuasa.
“ Tumben pagi-pagi ke sini?” Kata Nia menyapaku
“ Hmmm aku nyari majalah potret. Apa sudah datang?” Tanyaku
Nia menunjuk puluhan majalah potret yang tersusun di atas meja bersama
dengan majalah lainnya. Sebelum membeli majalah, aku dan Nia sempat berbincang sebentar.
Perbincangan kami terhenti di sini?.
“ Cari apa ya?” Tanya Nia sambil mendorong kursi roda mendekati Bintang
Lelaki itu terdiam menatap ke arah Nia yang duduk di atas kursi roda.
Ia lalu mengarahkan pandangannya kepadaku.
“ Apa di sini ada majalah Potret?” Tanyanya
Nia mendorong kursi roda untuk mengambil majalah Potret. Ia menyerahkan
majalah itu kepada Bintang.
“ Terima kasih” Ucap Bintang lalu menyerahkan uang kepada Nia.
Kami berdua keluar dari toko itu tanpa mengucap sepatah kata pun.
Karena kejadian beberapa waktu lalu hubungan pertemana kami menjadi merenggang.
Tapi hari ini Bintang menunjukkan tingkah lakunya yang mendadak menjadi baik
seperti dulu.
“ Kita jalan kaki aja ya” Ajak Bintang
“ Apa kamu gak apa-apa kalau jalan agak jauh?” Tanyaku sambil memandang
ke kaki kiri Bintang
Bintang mengangguk tanda ia tidak apa-apa. Kami berdua berjalan
menyusuri kota pagi ini dengan perbincangan hangat seputar isi majalah Potret
yang baru di beli. Beberapa orang yang melintas di sekitar sempat
menunjuk-nunjuk ke arah Bintang. Aku sendiri yang berada di sampingnya merasa
kebingungan dengan hal tersebut.
Seorang siswi SMA berlari-lari kecil menghampiri kami berdua. Wajahnya
menunjukan kekaguman ketika melihat Bintang secara langsung. Ia segera
mengambil sebuah buku di dalam tas dan menyuruh Bintang untuk menandatangi isi
bukunya.
“ Aku ingin sekali melihat pameran foto kakak. Kapan kakak
mengadakannya di Indonesia?” Tanyanya berapi-api
Bintang hanya membalas dengan tawa kecil “ Hmmmm... suatu hari nanti”
Siswi SMA itu menyambut buku yang sudah ditandatangani oleh Bintang. Ia
kembali menampakan wajah khas anak-anak SMA yang imut. Sebelum pergi ia sempat
berselfi bersama Bintang. Aku yang berada di sebelah hanya menatap heran. Apa
yang sebenarnya terjadi disini.
“ Apa kamu sangat terkenal di Singapura?” Tanyaku
“ Menurutmu bagaimana” Kata Bintang balik bertanya
“ Sepertinya kamu memang orang terkenal. Tapi, apa kamu pernah
mengadakan pameran? Berarti karya kamu benar-benar diakui dong?” Kataku
Bintang mengangkat bahu, ia tidak terlalu memperdulikan apa yang aku
bicarakan. Saat kami sudah berada di depan kantor, Bintang masuk lebih dulu
dengan disambut pegawai lain yang memberinya hormat.
Aku mengarahkan pandangan ke sekitar kantor, pagi begini banyak sekali
anak-anak dengan pakaian seperti preman berkeliaran di sekitar kantor.
Sebenarnya aku penasaran ingin bertanya apa yang mereka lakukan di sini. Namun
seseorang menarik tanganku agar masuk ke dalam kantor. Siapa lagi kalau bukan
Bagas.
“Kenapa banyak orang-orang mirip preman di depan kantor?” Tanyaku pada
Bagas saat kami hendak menuju ruangan
Bagas menjawab pertanyaanku setelah ia selesai memasang dasi.
“ Ada masalah yang terjadi mungkin”
“ Masalah?” Tanyaku lagi
Bagas menunjuk ke arah kerumunan preman dari balik jendela kaca.
“ Mereka pasti ingin di foto sama kamu, kamu kan fotografer terbaik di
kantor ini” Canda Bagas
Dalam situasi begini ia masih saja bercanda. Aku memukul pundaknya
cukup kencang hingga membuat Bagas kesakitan. Biarlah, biar dia tahu rasa. Aku
tidak suka diajak bercanda kalau sedang serius.
Di lantai bawah nampak Bintang yang menuju pintu keluar, sepertinya ia
ingin menghampiri para preman tersebut. Aku yang berniat hendak mencegat justru
dicegat Bagas terlebih dahulu.
“Jangan kesana!, berbahaya!”
Bagas berkata cukup kencang di hadapanku. Jantungku berdetak cepat
karena terkejut. Ia mendorongku masuk ke dalam ruang kerja.
“ Biar aku yang ke sana” Kata Bagas
Aku hanya menunggu. Menunggu dengan harap-harap cemas. Apa yang terjadi
di luar sana. Aku benar-benar penasaran. Saat aku mengintip dari balik jendela,
Bintang tengah berbicara dengan salah satu preman. Di sebelahnya, Bagas dengan
berani berusaha menenangkan keadaan ia juga mengajak Bintang untuk masuk ke
dalam kantor. Para pegawai yang ada di lobi tertegun menyaksikan keributan yang
terjadi di luar sana. Namun situasi tersebut tidak berlangsung lama karena
Bintang akhirnya masuk ke dalam kantor diikuti Bagas di belakang.
Syukurlah, aku mengelus dadaku yang tadi terasa sesak. Aku bisa duduk
dengan tenang di tempat kerja sekarang. Bagas belum juga kembali hingga
setengah jam kemudian. Ku rasa ia sudah berangkat mencari inspirasi di luar
sana. Suatu pertanyaan keluar dari benakku. Bintang. Siapa sebenarnya dia.
Sepertinya ia cukup di kenal masyarakat Indonesia walaupun keberadaannya hanya
sebagai turis dari negeri seberang. Aku mulai menulis di keyboard “ Bintang
Pratama” dan searching ke google. Hasilnya begitu mengejutkan, satu halaman
yang ku temui adalah artikel tentang dirinya.
“ Bintang Pratama; “ Fotografer muda berbakat dari Singapura” “
“ Pameran Fotografer termuda se Asia Tenggara”
“ Usia 20 Tahun, Bintang sukses menjadi Fotografer dan terkenal hingga
Eropa”
“Bintang Pratama; dari sekedar menyukai kamera hingga menjadi
Fotografer sukses”
Namanya juga tercantum dalam situm Wikipedia, ia lahir tanggal 14
Januari 1994 di Singapura. Anak dari pasangan suami istri pemilik saham
terbesar di Majalah Potret. Kedua orang tuanya keturunan Cina yang sudah lama
berada di Singapura. Dari semua artikel dan foto yang ku lihat ada satu
keanehan disana. Orang tua Bintang adalah keturunan Cina, tapi kenapa wajah
Bintang begitu khas dengan wajah Indonesia. Dari gaya ia berbicara pun tidak
sedikit logat Singapura yang nampak. Persis seperti berbicara pada orang
Indonesia.
Salah satu artikel kembali membuat keningku berkerut.
“ Di tanya masa kecil Bintang hanya menjawab dengan senyuman”
Hampir semua artikel yang ku baca tidak ada yang mencantumkan tentang
kehidupan masa kecil Bintang. Yang ada hanya penghargaan yang berhasil diraih
dan beberapa karya fotonya yang terkenal.
“ Lahir di Singapura 14 Januari 1994. Eh, 14 Januari? Bukannya aku juga
lahir di tahun yang sama? Berarti kami seumur?” Gumamku
Bagas membuka pintu ruang kerja dengan tergesa-gesa. Ia bergegas menuju
meja untuk mengambil kamera dan tanda
pengenal fotografer. Belum selesai ia mengambil semua barang, matanya menatap
heran ke arahku. Sudah hampir jam 10 pagi aku masih saja duduk santai di meja
kerja.
“ Kamu gak pergi ke Festival Jor?” Tanya Bagas
Aku menutup semua tab di google agar Bagas tidak melihat apa yang ku
lakukan.
“ Iya! Aku pergi, sebentar aku siap-siap” Kataku segera mengambil
kamera dan menggantungnya di leher.