Satu Kesempatan (Part 1)

By loker aufit - October 05, 2016


Tiba lagi di penghujung tahun 2015, dan sampai hari ini semua masih tetap sama. Aku masih tidak menemukanmu, Zian. Semua yang orang-orang katakan tentang kematianmu sama sekali tidak bisa ku percaya. Kamu masih hidup hingga saat ini, aku tahu itu. Tapi sampai sekarang kenapa kamu tidak pernah menampakan kemunculanmu.
Aku hidup bersama mamah, kami hanya berdua selama hampir 22 tahun. Mama seorang wanita karier, itu tuntutan hidup baginya karena ia juga seorang single parent. Kadang aku merasa kesepian karena mama selalu menghabiskan waktu-waktunya untuk berada di kantor. Ia jarang pulang, jarang menanyakan sekolahku, bagaimana keseharianku. Mama memang acuh tapi aku tahu ia begitu mencintaiku. Ia memberiku fasilitas mewah, sekolah di tempat terbaik juga bimbel yang terpercaya. Ia mempersiapkan masa depanku dengan sangat matang, karena ia tidak ingin hidupku berakhir seperti kehidupannya.
“ Ma kita mampir dulu ya beli bubur ayam buat bibi Jian” Ucapku memecah kebisuan di dalam mobil.
“ Boleh, di mana tempatnya? Hmm tempat biasa kamu beli itu ya” Jawab mama dengan wajah datar
“ Iya, di Jalan Kenanga 2” Sahutku lagi
Mobil terus melaju ke arah jalan kenanga. Hari itu aku baru saja selesai di wisuda. Sekarang aku seorang sarjana, lulus dengan nilai cumloude. Hari ini juga aku melihat mama tersenyum, ia bangga atas pencapaianku. Walau pun ia tidak pernah sekali pun menanyai bagaimana aku di sekolah dan berapa nilaiku. Aku bisa membuktikan padanya kalau aku bisa berprestasi walaupun ia sering mengacuhkanku.
Mamah memegang pundakku saat aku baru saja ingin keluar dari kedai bubur ayam. Wajahnya mendadak berubah begitu tegang. Pasti karena ada masalah kantor yang tiba-tiba begitu mendesak.
“ Bibi Jian... meninggal, Jora” Ucap mama tersendat-sendat
Aku menatap mama kosong, baru saja aku ingin menengoknya di rumah sakit dan mengatakan kalau aku berhasil lulus kuliah. Aku baru saja berpikir ingin memeluknya, mengucapkan ribuan terima kasih karena sudah menjagaku sejak masih bayi. Merawatku saat mama tidak bisa berada di sampingku. Tapi aku terlambat, kata-kata terima kasih itu tidak sempat terucap. Dia pergi dengan kenangan anak majikannya yang selalu menangis kesepian.
Kita tidak bisa terus mendung di sini, harus ada matahari yang menyinari kehidupan kita lagi. Begitu mama menyemangatiku saat aku terpuruk atas kematian Bibi Jian. Dua hari setelah kematian Bibi ia sudah bisa kembali ke rutinitas biasa. Ia bekerja di kantor seperti tidak terjadi apa-apa. Sedang aku, setelah lulus kuliah hari-hari sunyi kembali datang. Aku berjalan menyisir setiap sudut rumah yang ada hanya hening. Saat aku kuliah aku bisa bertemu banyak teman dan melupakan rumah. Saat Bibi Jian masih hidup ia satu-satunya orang tempat aku berkeluh kesah. Tentang mama, apa hidupku akan terus seperti ini, ia acuhkan. Sekarang orang yang sering mendengarkan ceritaku sudah tiada, siapa lagi yang akan menjadi menggantinya kelak.
“ Secepatnya mama akan cari pembantu baru buat mengurus rumah” Ucap mama saat ami sarapan
“Gak usah buru-buru ma, lagian Jora juga belum kerja selama sebulan ini. Jora bisa kok ngurus rumah, biar Jora ada kerjaan” Sahutku
“ Ya sudah, setelah kamu bekerja baru mama cari pembantu baru, mama berangkat!” Ucap mama sambil mengambil tas di atas meja lalu pergi menuju garasi mobil.
Ternyata mengurus rumah sendirian begitu merepotkan dan aku baru menyadari betapa luas rumah ini saat aku harus membersihkannya setiap hari. Aku harus bagun pagi, menyiapkan sarapan lalu mencuci baju, mengepel, belanja. Pekerjaan yang sangat jarang aku lakukan.
“ Mba, tomatnya jatuh tuh!” Kata seorang lelaki yang kebetulan berpapasan denganku.
Aku sangat terkejut kantong plastik tempat membawa buah tomat yang baru aku beli di pasar bawahnya robek, dan tomat yang ku bawa berceceran sepanjang jalan. Beberapa tomat bahkan dipatuk oleh ayam dan beberapanya lagi terinjak orang.
“ Ya ampun, ihhhhh!” ucapku sebal
Lelaki tadi dengan susah payah memungut satu persatu tomat yang masih bagus dan menyerahkannya.
“ Ini tomatnya, semoga masih bisa di pakai” Katanya
“Terima kasih, eh!, kamu orang baru? Aku gak pernah liat kamu di sekitar sini” Tanyaku sok akrab.
Ia mengangguk, “aku orang baru di sini”.
“Owh, pantas. Ya sudah aku pergi dulu, terima kasih sudah membantu” Ucapku.
Ia tersenyum kecil lalu mengangguk.
Aku masih belum bisa lupa dengan sosok Zian, mungkin aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Selama aku hidup aku hanya dekat dengan seorang pria hanya dia. Di sekolah, tempat kuliah aku tidak menemukan seseorang yang bisa menggantikan Zian. Zian mungkin bagi orang lain sudah meninggal dalam kecelakaan tapi bagiku dia tetap hidup di dalam pikiranku.
Apa yang aku lakukan selama ini tidak pernah menemukan titik terang. Aku yang selalu ingin membuktikan pada mereka kalau Zian masih hidup tidak pernah mendapatkan bukti. Bagaimana pun seringnya aku mengunjungi tempat kecelakaan itu dan bertanya pada orang-orang sekitar, dia tidak pernah bisa ku temukan. Aku mulai berpikir sepertinya aku  memang kalah dengan pikiran orang-orang. Bahwa dalam kecelakaan bus 14 tahun lalu memang hanya aku dan Nia yang masih hidup.
“ Zian ada sesuatu yang mengganjal di sini, satu hal yang belum aku utarakan” gumamku sambil memegangi jantung.
Matahari sore di sekitar danau pinggir kota terlihat cukup indah.Rona-rona merah dari matahari yang sebentar lagi pulang ke peraduannya membuat suasana menjadi tenang. Kalau aku berada di rumah, aku akan terus melamunkan hal-hal yang aneh. Karena itu aku kemari, setidaknya aku merasa lebih nyaman duduk berlama-lama disini.
“ Kamu yang tadi pagi, kan?” Sapa seseorang
Aku menoleh ke arah orang yang berdiri di sebelah kiri ku.
“ Eh, kamu yang udah bantuin aku tadi kan? Kok kita bisa ketemu lagi?” Jawabku heran
Ia berjalan terpincang-pincang menuju kursi yang tengah ku tempati. Sambil tersenyum hangat ia mulai bertanya banyak hal padaku.
“ Kita belum sempat berkenalan bukan? Siapa namamu?”
“ Jora....Kejora Hayati”
Lelaki di sampingku itu tertegun sebentar, ia menoleh sebuah apartement yang letaknya berada persis di seberang danau sana.
“ Hmm... persis seperti nama apartement itu ya, kebetulan aku tinggal di sana” Ucapnya sambil menunjuk ke arah apartement.
Mendengar apa yang ia katakan padaku, aku jadi teringat kata-kata yang nyaris persis di ucapkan oleh Zian saat kami masih kelas 5 SD dulu.
“ Nama kamu persis nama apartement itu, aku berharap suatu hari nanti bisa tinggal di sana”
Aku menyikut pundak Zian “ Apartement itu mahal! Hanya orang-orang kaya yang bisa tinggal di sana, memang kamu punya uang apa?”
“ Aku akan berusaha! Aku akan jadi photografer yang terkenal. Seluruh dunia akan mengenalku lewat setiap foto yang aku buat”
Aku tertawa mendengar perkataan Zian, “ buktikan, buktikan kata-kata itu saat kita dewasa nanti!”
Sekilas percakapan singkat itu kembali hadir di pikiranku. Aku tersenyum mengingatnya, dia masih begitu belia tapi kenapa pikirannya sudah begitu dewasa.
“ Hmmmm .. kalau nama kamu siapa?” Tanyaku
“ Bintang Pratama” Sahutnya
Aku sempat berharap kalau pertemuan ku dengan Bintang bisa mengobati perasaan kehilanganku pada Zian. Mereka memang tidak mirip, sangat jauh. Tapi aku memiliki rasa nyaman saat aku berada di sampingnya seperti ini.
Kesibukanku setelah lulus kuliah memang bertambah banyak. Selain mengurus rumah aku juga tetap menjalankan hobby ku sebagai photografer. Setiap hari aku melintasi jalanan-jalanan kota yang begitu ramai. Jika ada sesuatu hal yang menurutku menarik, aku langsung membidiknya dengan kamera. Semua foto-foto yang sudahku abadikan aku muat di jejaring sosial Instagram dan beberapanya lagi ku kirim ke redaksi majalah.
Lumayan lah selama beberapa minggu ini aku bisa mendapatkan uang dua ratus ribu untuk beberapa artikel yang berhasil dimuat di majalah. Dan karena hasil fotoku yang lumayan bagus, salah satu redaksi mengontrakku untuk menjadi penulis di majalahnya. Tapi aku harus menunggu hingga akhir bulan Januari karena photografer senior yang akan ku gantikan belum habis masa jabatannya. Untuk itu aku harus lebih bersabar dan tetap menjadi photografer amatiran selama menunggu panggilan kerja.
Seminggu lalu aku sempat bertemu Bintang tepatnya di dekat danau, hari ini aku bertemu lagi di atas jembatan kota. Ia tengah memotret kapal-kapal yang berlalu lalang di atas sungai. Sebegitu asyiknya ia sampai tidak menyadari kalau aku sudah ada di sebelanya.
“ Kamu photografer juga? Dari redaksi mana?” Tanyaku
Bintang menghentikan pekerjaannya “ Ini hanya pekerjaan iseng, buat ngisi blog”
“ Boleh aku lihat?” Tanyaku lagi
“ Ya, tapi kita cari tempat teduh dulu, disini panas”
Kami berdua berjalan menuju kedai yang menjual es kelapa muda. Tidak jauh dari kedai pemandangan sungai masih bisa di lihat. Banyak sekali orang yang duduk menghabiskan waktu makan siang di sini. Sambil terus bicara sesekali Bintang membidik kameranya pada orang-orang yang tengah asyik meminum es kelapa. Kalau dilihat dia bukan seorang photografer amatiran. Hasil fotonya bagus juga unik. Entah teknik apa yang ia lakukan hingga bisa membuat foto seperti itu.
“ Kamu kenapa tinggal di apartement? Apa rumah kamu tidak di sini?” Tanyaku
“ Aku disini hanya beberapa bulan, ya anggap saja aku seorang turis” Jawabnya
“ Turis?”
“ Aku dari Singapore, dan tujuanku ke sini ingin membuat sebuah karya tentang adat di negara Indonesia”
Aku melotot ke arah Bintang, dia seorang turis dari Singapore tapi kenapa wajahnya sangat identik dengan wajah orang Indonesia. Setahu ku, orang Singapore berwajah Chinese.

“ Tapi kamu mirip dengan orang Indonesia, kamu punya keluarga di sini?”

  • Share:

You Might Also Like

0 comments