Satu Kesempatan (Part 6)

By loker aufit - October 05, 2016

Mataku berbinar-binar melihat sosok polisi gagah yang tengah berdiri di hadapanku.
“ Papa..” Kataku
Aku memeluk papa dengan erat. Selama tiga tahun ini aku tidak pernah bertemu Papa. Tepatnya saat ia di pindah tugas ke daerah lain.
“ Jadi kamu bekerja di sini sebagai fotografer? Papa pikir kamu akan mengikuti jejak Mama mu” Kata Papa
“ Enggak lah Pa, Jora ya Jora. Mama ya Mama. Ini kan hobbi Jora sejak kecil” Sahutku
“Ya sudah, ayo naik! Biar Papa antar kamu ke rumah” Perintah Papa
Aku segera menaiki motor polisi yang besar ini. Tidak lupa, aku berpegangan erat di pinggang Papa. Papa juga sesekali mengelus-elus kepala anak semata wayangnya ini.
Walau berumur 45 tahun Papa masih terlihat gagah dan tampan. Orang mungkin tidak akan percaya kalau Papa menyembutkan umur dirinya. Selama ini Papa juga masih sendiri sama seperti Mama. Setelah perceraian itu mereka sama-sama tidak menikah. Mereka hidup dengan cara masing-masing. Aku selalu berharap keluargaku bisa menyatu kembali. Tapi ku rasa sangat sulit, mereka berdua terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ada yang mau mengalah satu sama lain.
Kami berdua telah tiba di depan rumah, aku membunyikan bel agar Mama membukakan pintu pagar.
“ Mama mungkin sudah tidur Pa” Ucapku
“ Coba hubungi dia, mungkin dia tidak mendengar suara bel” Kata Papa
Aku hanya diam ketika Papa memerintahkanku, Papa menghela nafasnya. Ia tahu aku tidak pernah berani menelpon mama, mungkin sekarang ia tengah sibuk di ruang kerja. Dan berpura-pura tidak mendengar kalau aku sejak tadi memanggilnya di luar.
“Biar Papa yang telpon” Kata Papa
Aku menyerahkan handphoneku pada Papa.
Ia agak menjauh dariku saat Mama mengangkat telpon, aku tidak mendengar persis apa yang mereka bicarakan. Tak lama kemudian Mama membuka pintu pagar. Tatapannya begitu tajam saat melihat Papa. Papa juga melakukan hal sama.
“ Aku masuk dulu Pa, terima kasih atas tumpangannya” Kataku memecah kebisuan.
Papa mengelus kepalaku dan membiarkanku memasuki rumah.
Saat aku  berada di dalam rumah, Mama dan Papa masih berbicara serius di depan sana. Bahkan hingga mereka berpisah bertahun-tahun lamanya hubungan mereka tetap tidak bisa membaik.
“ Benar-benar keluarga yang menyedihkan” Ucapku
Pagi sebelum berangkat ke kantor, aku menyempatkan  mampir di sebuah toko buku milik temanku Nia. Temanku itu menjadi salah satu saksi bisu kecelakaan yang kami alami 14 tahun lalu. Aku lebih beruntung dari Nia, setelah kecelakaan terjadi ia harus merelakan kedua kakinya diamputasi. Pasti sangat berat hidup dengan bertopang pada kursi roda, tapi Nia begitu kuat. Ia tidak menyalahkan siapa pun atas kecelakaan yang membuat dirinya cacat. Yang ia lakukan hanya bersyukur karena sampai detik ini ia masih bisa menghirup nafas kehidupan dari Yang Maha Kuasa.
“ Tumben pagi-pagi ke sini?” Kata Nia menyapaku
“ Hmmm aku nyari majalah potret. Apa sudah datang?” Tanyaku
Nia menunjuk puluhan majalah potret yang tersusun di atas meja bersama dengan majalah lainnya. Sebelum membeli majalah,  aku dan Nia sempat berbincang sebentar. Perbincangan kami terhenti di sini?.
“ Cari apa ya?” Tanya Nia sambil mendorong kursi roda mendekati Bintang
Lelaki itu terdiam menatap ke arah Nia yang duduk di atas kursi roda. Ia lalu mengarahkan pandangannya kepadaku.
“ Apa di sini ada majalah Potret?” Tanyanya
Nia mendorong kursi roda untuk mengambil majalah Potret. Ia menyerahkan majalah itu kepada Bintang.
“ Terima kasih” Ucap Bintang lalu menyerahkan uang kepada Nia.
Kami berdua keluar dari toko itu tanpa mengucap sepatah kata pun. Karena kejadian beberapa waktu lalu hubungan pertemana kami menjadi merenggang. Tapi hari ini Bintang menunjukkan tingkah lakunya yang mendadak menjadi baik seperti dulu.
“ Kita jalan kaki aja ya” Ajak Bintang
“ Apa kamu gak apa-apa kalau jalan agak jauh?” Tanyaku sambil memandang ke kaki kiri Bintang
Bintang mengangguk tanda ia tidak apa-apa. Kami berdua berjalan menyusuri kota pagi ini dengan perbincangan hangat seputar isi majalah Potret yang baru di beli. Beberapa orang yang melintas di sekitar sempat menunjuk-nunjuk ke arah Bintang. Aku sendiri yang berada di sampingnya merasa kebingungan dengan hal tersebut.
Seorang siswi SMA berlari-lari kecil menghampiri kami berdua. Wajahnya menunjukan kekaguman ketika melihat Bintang secara langsung. Ia segera mengambil sebuah buku di dalam tas dan menyuruh Bintang untuk menandatangi isi bukunya.
“ Aku ingin sekali melihat pameran foto kakak. Kapan kakak mengadakannya di Indonesia?” Tanyanya berapi-api
Bintang hanya membalas dengan tawa kecil “ Hmmmm... suatu hari nanti”
Siswi SMA itu menyambut buku yang sudah ditandatangani oleh Bintang. Ia kembali menampakan wajah khas anak-anak SMA yang imut. Sebelum pergi ia sempat berselfi bersama Bintang. Aku yang berada di sebelah hanya menatap heran. Apa yang sebenarnya terjadi disini.
“ Apa kamu sangat terkenal di Singapura?” Tanyaku
“ Menurutmu bagaimana” Kata Bintang balik bertanya
“ Sepertinya kamu memang orang terkenal. Tapi, apa kamu pernah mengadakan pameran? Berarti karya kamu benar-benar diakui dong?” Kataku
Bintang mengangkat bahu, ia tidak terlalu memperdulikan apa yang aku bicarakan. Saat kami sudah berada di depan kantor, Bintang masuk lebih dulu dengan disambut pegawai lain yang memberinya hormat.
Aku mengarahkan pandangan ke sekitar kantor, pagi begini banyak sekali anak-anak dengan pakaian seperti preman berkeliaran di sekitar kantor. Sebenarnya aku penasaran ingin bertanya apa yang mereka lakukan di sini. Namun seseorang menarik tanganku agar masuk ke dalam kantor. Siapa lagi kalau bukan Bagas.
“Kenapa banyak orang-orang mirip preman di depan kantor?” Tanyaku pada Bagas saat kami hendak menuju ruangan
Bagas menjawab pertanyaanku setelah ia selesai memasang dasi.
“ Ada masalah yang terjadi mungkin”
“ Masalah?” Tanyaku lagi
Bagas menunjuk ke arah kerumunan preman dari balik jendela kaca.
“ Mereka pasti ingin di foto sama kamu, kamu kan fotografer terbaik di kantor ini” Canda Bagas
Dalam situasi begini ia masih saja bercanda. Aku memukul pundaknya cukup kencang hingga membuat Bagas kesakitan. Biarlah, biar dia tahu rasa. Aku tidak suka diajak bercanda kalau sedang serius.
Di lantai bawah nampak Bintang yang menuju pintu keluar, sepertinya ia ingin menghampiri para preman tersebut. Aku yang berniat hendak mencegat justru dicegat Bagas terlebih dahulu.
“Jangan kesana!, berbahaya!”
Bagas berkata cukup kencang di hadapanku. Jantungku berdetak cepat karena terkejut. Ia mendorongku masuk ke dalam ruang kerja.
“ Biar aku yang ke sana” Kata Bagas
Aku hanya menunggu. Menunggu dengan harap-harap cemas. Apa yang terjadi di luar sana. Aku benar-benar penasaran. Saat aku mengintip dari balik jendela, Bintang tengah berbicara dengan salah satu preman. Di sebelahnya, Bagas dengan berani berusaha menenangkan keadaan ia juga mengajak Bintang untuk masuk ke dalam kantor. Para pegawai yang ada di lobi tertegun menyaksikan keributan yang terjadi di luar sana. Namun situasi tersebut tidak berlangsung lama karena Bintang akhirnya masuk ke dalam kantor diikuti Bagas di belakang.
Syukurlah, aku mengelus dadaku yang tadi terasa sesak. Aku bisa duduk dengan tenang di tempat kerja sekarang. Bagas belum juga kembali hingga setengah jam kemudian. Ku rasa ia sudah berangkat mencari inspirasi di luar sana. Suatu pertanyaan keluar dari benakku. Bintang. Siapa sebenarnya dia. Sepertinya ia cukup di kenal masyarakat Indonesia walaupun keberadaannya hanya sebagai turis dari negeri seberang. Aku mulai menulis di keyboard “ Bintang Pratama” dan searching ke google. Hasilnya begitu mengejutkan, satu halaman yang ku temui adalah artikel tentang dirinya.
“ Bintang Pratama; “ Fotografer muda berbakat dari Singapura” “
“ Pameran Fotografer termuda se Asia Tenggara”
“ Usia 20 Tahun, Bintang sukses menjadi Fotografer dan terkenal hingga Eropa”
“Bintang Pratama; dari sekedar menyukai kamera hingga menjadi Fotografer sukses”
Namanya juga tercantum dalam situm Wikipedia, ia lahir tanggal 14 Januari 1994 di Singapura. Anak dari pasangan suami istri pemilik saham terbesar di Majalah Potret. Kedua orang tuanya keturunan Cina yang sudah lama berada di Singapura. Dari semua artikel dan foto yang ku lihat ada satu keanehan disana. Orang tua Bintang adalah keturunan Cina, tapi kenapa wajah Bintang begitu khas dengan wajah Indonesia. Dari gaya ia berbicara pun tidak sedikit logat Singapura yang nampak. Persis seperti berbicara pada orang Indonesia.
Salah satu artikel kembali membuat keningku berkerut.
“ Di tanya masa kecil Bintang hanya menjawab dengan senyuman”
Hampir semua artikel yang ku baca tidak ada yang mencantumkan tentang kehidupan masa kecil Bintang. Yang ada hanya penghargaan yang berhasil diraih dan beberapa karya fotonya yang terkenal.
“ Lahir di Singapura 14 Januari 1994. Eh, 14 Januari? Bukannya aku juga lahir di tahun yang sama? Berarti kami seumur?” Gumamku
Bagas membuka pintu ruang kerja dengan tergesa-gesa. Ia bergegas menuju meja untuk mengambil kamera dan  tanda pengenal fotografer. Belum selesai ia mengambil semua barang, matanya menatap heran ke arahku. Sudah hampir jam 10 pagi aku masih saja duduk santai di meja kerja.
“ Kamu gak pergi ke Festival Jor?” Tanya Bagas
Aku menutup semua tab di google agar Bagas tidak melihat apa yang ku lakukan.
“ Iya! Aku pergi, sebentar aku siap-siap” Kataku segera mengambil kamera dan menggantungnya di leher.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments