Satu Kesempatan (Part 2)

By loker aufit - October 05, 2016

“ Hmmm.... ada, keturunanku”
“ Bahasa indonesia kamu juga fasih, kamu pernah tinggal di Indonesia juga?”
“ Iya, dulu... sudah cukup lama. Tapi kami memutuskan pindah ke Singapore. Ada lagi yang mau kamu tanyakan? ” Kata Bintang menggodaku
“ Kaki kamu kenapa? Sakit ya?”
Bintang mengangkat celana hingga lutut, mataku melotot saat menyaksikan kaki palsu yang terpasang di lutut kirinya. Ia tersenyum ke arahku.
“ Aku memang sedang sakit, dan sakitnya tidak bisa sembuh” balasnya
“ Kenapa kaki kamu bisa seperti itu? Kamu pernah kecelakaan?” Kataku penasaran
“ Ini karena cacat sejak kecil” kata Bintang.

Hari ini merupakan hari pertamaku bekerja di redaksi majalah Potret. Sesampainya di kantor, aku di sambut hangat oleh staf-staf yang bekerja di sana. Dunia kantor tidak seseram yang aku pikirkan.
Oleh atasanku, aku di ajak berkeliling di sekitar area kantor dan berkenalan dengan para staf yang nanti akan membantuku dalam pembuatan majalah.
Seorang kakek tua berdiri di depan ruangan yang akan ku tempati. Kakek itu menatap ke arahku, dari ujung kaki hingga kepala. Sepertinya ada yang salah dengan caraku berpakaian.
“ Kamu fotografer baru disini?” Tanyanya
“Iya, kek” Jawabku
“Kamu harus bekerja sungguh-sungguh, menjadi fotografer kelihatannya memang mudah, tapi sesungguhnya sulit. Ingat, buat artikel yang menarik dan jangan menambahkan kebohongan didalamnya” Begitu katanya
“ Iya, saya akan melakukan yang terbaik” Sahutku
“ Lalu siapa lagi yang akan bekerja sama denganmu?” Kata kakek itu sambil menunjuk ke arah kursi kosong lainnya.
Baru saja aku ingin menggelengkan kepala, seorang lelaki memasuki ruangan sambil membawa kotak cukup besar. Ia memberikan salam hormat pada kakek yang berdiri di dekatku lalu pergi menuju bangku kosong.
“ Itu yang akan jadi temanmu?” Tanya kakek itu
“ Sepertinya, kek” Jawabku
“ Dia cukup tampan, ya sudah! Semoga kamu senang bekerja di sini” Kata kakek itu lalu pergi.
Aku mulai merapikan barang-barang di atas meja. Barang-barang yang jumlahnya tidak seberapa banyaknya. Saat aku tengah asyik menata barang-barang, teman di sebelahku sudah asyik dengan pekerjaan menulis. Suara dari keyboard laptopnya memecah kesunyian di ruangan ini.
“ Kita sepertinya sama-sama baru bekerja disini, hmmm siapa nama kamu?” Tanyaku
Ia menghentikan pekerjaannya dan menatapku datar
“ Bagas” Jawabnya pendek
“ Owh, aku Kejora. Semoga kita bisa bekerja sama ya!” Ucapku
Ia hanya membalas dengan senyum datar. Orang ini kenapa, apakah ia sombong atau memang ini sifat aslinya.
Di sekitar area kantor banyak sekali ku temui tempat-tempat yang terkesan unik. Beberapa sempat ku abadikan untuk kenang-kenangan. Saat tengah mengamati setiap sudut ruang, aku melihat beberapa petinggi dari redaksi majalah ini tengah rapat. Karena ruangan terdiri dari kaca-kaca tembus pandang yang berukuran besar, aku bisa melihat jalannya rapat dari luar.
Pasti di dalam sana dipenuhi orang-orang hebat dalam pembuatan sebuah majalah. Rapat mereka terlihat sangat menarik apalagi saat ada beberapa yang mengajukan sanggahannya.
“ Hah.. Bintang? Sedang apa dia” gumamku
Orang itu tengah mempresentasikan hasil fotonya di depan orang-orang berjas. Ia sama sekali tidak canggung menghadapi para petinggi majalah ini. Kalau di lihat ia bukan orang sembarangan, ia juga mengenakan jas dan dandanannya begitu rapi berwibawa. Berbeda sekali dengan Bintang yang ku temui beberapa hari lalu.
“ Kamu udah dapat hasil foto yang bagus?” Tanya Bagas
“ Ada, tentang kantor kita ini. Coba lihat, kantor kita memiliki bentuk yang unik juga artistik. Kalau foto ini kita muat di majalah dengan artikel yang menarik, pasti banyak orang yang menyukai kantor kita dan kantor kita akan jadi terkenal!” Jawabku
“ Hmmm... boleh juga, tapi hal seperti itu apa tidak terlalu biasa. Orang-orang diluar butuh inspirasi ketika ia tengah membaca majalah Potret. Bukan mengetahui bagaimana tempat pembuatan majalah Potret” Kata Bagas
“ Benar juga, hahhhh... ternyata mencari foto yang menarik memang susah. Kamu sendiri punya hasil foto yang bagus gak?” Tanyaku
Bagas buru-buru mengambil kamera di atas meja.
“ Ini tentang para relawan yang rela meluangkan waktu untuk membantu orang-orang miskin berobat, baguskan!. Lihat, badan kurus dari anak kecil itu bisa menggugah para pembaca untuk tergerak menolong orang-orang miskin di sekitar mereka”
“ Ya... sangat bagus, kamu sudah buat artikelnya? Bos bilang kita harus membuat satu artikel untuk hari ini” Kataku
Bagas tersenyum kecil “ Aku tidak pandai menulis artikel, aku hanya menyukai membidik mata kamera dan mendapatkan hasil foto yang bagus. Kamu bisa menulis artikel kan? bukannya kamu seorang lulusan Sastra Indonesia”
Sambil terus memandang hasil foto milik Bagas aku mulai merangkai kata demi kata untuk artikel foto itu. Pikiranku pada Bintang membuat konsentrasiku pecah. Ia sudah mengatakan satu kebohongan padaku. Ia bilang hanya seorang turis yang iseng memotret budaya Indonesia untuk blog. Nyatanya ia juga seorang pegawai di kantor majalah ini.
Setelah menyelesaikan satu artikel, aku lantas menyerahkan kepada pihak editing. Kepalaku sudah begitu pusing karena harus berpikir keras menulis satu artikel, sedangkan Bagas terliat senang karena ia tidak perlu bersusah-susah membuat artikel.
“ Mau aku traktir minum kopi? Kamu sepertinya sangat lelah” Kata Bagas
“ Tidak, aku ingin langsung pulang saja. Masih banyak yang harus ku kerjakan” sahutku
Aku berjalan menuju lobi kantor dengan wajah yang sangat lelah. Tiba di depan lift aku tak sengaja berpapasan dengan Bintang yang baru saja ingin keluar. Ketika melihatku ia  sedikit terkejut dan ingin buru-buru pergi.
“ Apa dunia sesempit ini? Apakah turis juga diperbolehkan keluar masuk di dalam kantor ini?” Kataku
“Memang kenapa? Kamu tidak senang aku ada di sini?”
Aku melangkah mendekati Bintang “ Iya! Karena kamu berbohong!”
“ Bohong?” Bintang mengerutkan alis kirinya “ Oohh, karena aku mengatakan aku seorang turis?. Hmmm... nih lihat! Aku memang turis” Ucap Bintang sambil memperlihatkan pasport miliknya.
“ Lalu kenapa kamu bilang tujuan kamu datang ke sini untuk mengenal budaya Indonesia, pasti kamu sudah sangat sering kan berada di sini. Aaaa.. aku memang curiga?! Kamu sangat fasih berbahasa Indonesia, pasti kamu sudah lama berada di sini. Jangan-jangan tujuan kamu di sini untuk mengambil kekayaan alam Indonesia dan membawanya ke Singapura!”
Bintang mengepalkan tinjunya ke wajahku namun ia tidak sempat mengenainya. Ia malah kembali ke lift dan menekan lantai paling atas di kantor. Aku sempat melihat wajah marahnya sebelum pintu lift tertutup. Aku merasa begitu keterlaluan padanya, harusnya kata-kata itu tidak boleh terucap. Aku hanya pegawai baru di kantor ini, dengan kejadian yang baru saja ku alami pasti akan berdampak buruk dikemudian hari.
Pekarangan rumah sudah nampak terang oleh cahaya lampu, sepertinya mama sudah lebih dulu tiba di rumah. Ketika memasuki rumah ku lihat mama sudah berada di ruang tamu sambil asyik sendiri dengan buku tebalnya.
Aku bergegas menuju dapur untuk meletakan belanjaan selama seminggu. Dari buah-buahan, sayur-mayur juga ikan. Mama tidak mungkin berinisiatif untuk berbelanja. Ia begitu sibuk dengan hidupnya sendiri, ini terlihat saat ia masih saja sibuk dengan buku-buku tebal di depannya sambil terus menerima telpon. Sedang aku, belum sempat berganti baju aku sudah harus menyiapkan makan malam untuk aku dan dirinya.
Suara sendok mama dan aku nampak seirama saat kami menyantap makan malam. Tidak ada percakapan yang tercipta hingga 10 menit waktu makan berlalu. Mama lebih cepat menghabiskan makanannya ketimbang aku. Itu karena porsi makannya yang sedikit. Di usia yang menginjak 43 ia masih begitu peduli dengan penampilan tubuh. Tidak seperti diriku.
“Harusnya kamu pesan makan cepat saji saja.Bukannya mama sudah menempel nomor telponnya di kulkas!” Kata mama
“ Buat apa sih ma, Jora bisa kok nyiapin makan malam. Lagian menu rumahan lebih terjamin kualitasnya dari pada beli di luar” Sahutku
Mama tidak menjawab perkataanku dan memilih berlalu ke kamar. Ia menyisakan piring-piring kotor yang harus segera di bersihkan.
“ Ya ampun, sebenarnya aku ini anakmu apa pembantumu sih ma!” ucapku dalam hati.
Selama seminggu berada di kantor ini banyak sekali pengalaman kantor yang aku dapatkan. Aku memiliki banya teman baru, suasana baru dan yang pasti keluarga baru. Di suatu kesempatan ketika kami para pegawai juga petinggi kantor majalan Potret mengadakan acara berfoto bersama aku merasakan sedekat ini suasana kekeluargaan yang terjalin disini. Tidak ada penindasan antara senior pada junior, yang ada justru senior yang membagi pengalaman dibidang masing-masing pada junior.
Di kejauhan aku melihat Bintang yang menyendiri di antara petinggi kantor lainnya. Orang-orang tengah larut dalam suasana makan-makan sedang ia hanya memandang keluar kantor.
Aku mendekatinya, berharap ia telah melupakan kata-kata kasar ku beberapa hari yang lalu.
“ Aku pikir hanya kamu yang tidak berkumpul di acara makan-makan”
“ Kenapa kamu datang ke sini menemuiku? Kamu masih ingin menyalahkanku” Ucap Bintang masih dengan suara santai
“ Bintang, Eh, maksudku Pak senior. Maaf atas ucapanku beberapa hari lalu, aku memang marah saat itu. Karena aku tidak suka. Aku tidak suka melihat orang berbohong kepadaku”
“ Aku juga minta maaf karena hampir memukulmu”
Setelah mengatakan hal itu ia berlalu pergi mendekati para petinggi kantor dan ikut larut dalam acara makan-makan.
Ada satu hal yang mengoyak hatiku saat melihat sikap Bintang hari ini. Ia tidak seperti Bintang yang aku temui beberapa hari lalu di jalanan. Aku merasa ia menjadi sombong saat berada di kantor, berpura-pura tidak mengenalku. Aku merasa permintaan maafku masih kurang, apalagi yang bisa ku lakukan untuk membuat keadaan menjadi baik seperti semula.
Hiburanku ketika weekend ialah berbelanja di supermarket. Stok makanan di rumah mulai menipis, aku tidak ingin menelpon restoran cepat saji karena tidak ada makan di rumah. Karena itu, aku harus memiliki banyak stok makanan untuk beberapa minggu ke depan.
“ Apa makanmu sebayak ini? Tapi kenapa badanmu masih kecil saja”
Seorang pria berdiri di belakangku sambil membawa kereta belanja yang juga penuh barang. Wajahnya lebih santai, tidak seseram di kantor. Ia juga terlihat keren dengan baju hem dari pada memakai jas kaku saat ke kantor.


  • Share:

You Might Also Like

0 comments