Satu Kesempatan (Part 3)
By loker aufit - October 05, 2016
“ Bagas.. Kamu belanja juga?” Kataku
Ia mengangguk mantap, kereta belanja itu ia dorong hingga sejajar
dengan kereta belanjaku.
“Kenapa bukan mama kamu yang belanja?, sekarang pekerjaan kita lagi
sibuk-sibuknya kan?” Tanya Bagas
“ Mama juga sangat sibuk, jadi lebih baik aku yang mengalah” jawabku.
Bagas mengajakku beristirahat sebentar di sebuah kafe kopi. Tanpa
banyak pikir aku langsung memesan capuccino juga puding. Sudah lama sekali aku
tidak menyantap keduanya. Sambil terus menyantap puding dan sesekali menghirup
capuccino, aku mulai mendengarkan cerita Bagas.
Inilah alasan kenapa ia begitu pendiam di kantor, dia tipe orang yang
acuh dan sedikit egois. Ada satu masa lalu yang membuatku sampai menghela nafas
beberapa kali karena kesal. Cerita itu berawal kurang lebih satu setengah tahun
yang lalu. Cerita yang akan mengungkap seperti apa sebenarnya ‘Bagas’ itu.
Sudah sejak SMA Bagas dan Lin menjalin hubungan kekasih, mereka
sama-sama hobby traveling juga photografi. Setiap moment indah selalu mereka
abadikan lewat kamera. Dari semua yang telah mereka lewati, Bagas dan Lin
akhirnya memilih kuliah jurusan photografi dan sama-sama lulus. Sejak duduk
dibangku kuliah hubungan asmara mereka semakin serius sampai akhirnya mereka
berdua sama-sama lulus dan mendapat kerja di suatu tempat yang sama. Studio
foto.
Mereka melayani pemotretan majalah, perkawinan dan yang lainnya. Uang
gaji sebagai fotografer mereka tabung dalam sebuah rekening. Di usia muda, dua
sejoli ini sudah memantapkan hatinya untuk kelak hidup bersama. Meski saat itu
gaji fotografer sangat sedikit, Bagas dan Lin tetap setia dengan pekerjaan dan
selalu bekerja profesional.
Semakin hari tabungan mereka semakin banyak begitu juga dengan cinta
mereka yang semakin besar. Hingga disuatu kesempatan, Lin menemui Bagas yang
baru selesai melakukan pemotretan pada acara pernikahan. Ia menyerahkan alat
tes kehamilan yang sontak saja membuat Bagas terkejut. Selama menjalin hubungan
mereka tidak pernah melakukan apa-apa, tapi kenapa Lin bisa memberikan alat tes
kehamilan padanya.
“ Aku... a...aku melakukannya bersama Roby.. ma..maafkan aku Bagas”
Ucap Lin bergetar
Seakan runtuh kepercayaan yang Bagas berikan kepada Lin. Wanita yang ia
anggap baik nyatanya adalah wanita paling busuk. Lin menjalin hubungan gelap
dengan Roby teman kerja sekaligus pemilik studio foto ini.
Lin seakan pasrah ketika Roby mengajaknya menikah dan begitu saja
mengacuhkan Bagas yang bersikeras juga akan menikahinya. Ia menghilang selama
beberapa bulan tanpa memberi kabar. Membuat Bagas bertanya-tanya di mana
keberadaannya.
Hingga suatu hari, kedua pasangan itu datang ke studio foto bersama
beberapa make up artis. Lin mengenakan gaun indah nan menawan sedangkan Roby
mengenakan setelan jas yang membuatnya begitu gagah. Mereka berdua akan
mengadakan pemotretan untuk acara pernikahan nanti.
Walau rasanya sangat kesal dan benci, Bagas tetap melaksanakan tugasnya
dengan profesional. Ia mengatur pose Lin dan Roby seperti yang biasa ia lakukan
dengan orang lain.
Bagas menghirup kopinya sedikit dan mulai meneruskan perkataan. Aku
dengan seksama mendengarkan ceritanya.
“ Aku ingin melupakannya, tapi sampai saat ini aku masih saja
mencintainya” Ucap Bagas
Aku menghela nafas, aku tahu perasaan itu. Seperti perasaanku pada
Zian.
Seperti rasa cinta yang selalu mudah memaafkan. Seperti kenangan yang
begitu dalam tersimpan dan karena suatu hal bisa tergali dengan mudah. Seperti
rasa benci yang bisa luluh seketika.
Bagas memilih mengundurkan diri dari studio foto itu. Ia keluar bukan
dengan perasaan benci, ia berusaha ikhlas. Mungkin baginya mencintai Lin tidak
harus memiliki raganya seutuhnya. Dengan memaafkan Lin dan merelakan ia untuk
Roby itu menjadi bukti cintanya yang suci.
“ Aku bercerita banyak sekali. Sudah hampir jam enam, kamu juga harus
segera pulang kan?” Tanya Bagas
“ Iya, sepertinya mama juga sudah menunggu di rumah” Jawabku
Sepanjang jalan menuju lantai bawah aku terus memikirkan satu
pertanyaan yang mungkin saja bisa Bagas jawab. Sekaligus bisa menjawab apa yang
selama ini terus aku pikirkan.
“ Gas? Aku boleh bertanya sesuatu?” Tanyaku
Bagas yang berjalan agak di depan menyetop langkahnya “ Mau tanya apa?”
“ Kalau kamu mendapat kesempatan untuk bertemu Lin lagi, apa yang akan
kamu lakukan?”
Bagas menyeringai kecil deretan gigi putihnya tersusun amat rapi. Aku
saja sampai dibuat terpana saat melihatnya.
“ Aku? Yang aku lakukan mengucapkan selamat atas pernikahannya. Karena
dulu aku langsung pergi dan tidak sempat mengucapkan kata itu” Sahut Bagas dan
kembali berjalan.
“ Kalau sudah sendiri? Apa kamu akan kembali padanya?”
0 comments