Satu Kesempatan (Part 11)
By loker aufit - October 11, 2016
“ Awalnya, saat usiaku remaja aku merasa sangat benci dengan mereka.
Aku ingin menghapus ingatan kedua orang tuaku itu. Tapi, ketika menginjak
bangku kuliah aku mulai berpikir tidak ada gunanya membenci orang tua sendiri.
Karena mereka juga aku bisa terlahir ke dunia ini. Justru aku harus mencari
mereka dan mengucapkan terima kasih”
“ Kamu masih akan tetap di Indonesia kan? Ada banyak hal yang ingin ku
lakukan bersama kamu”
Zian menanggapi perkataanku dengan senyuman.
“ Masih kan?”Ucapku untuk kedua kali
“Orang tuaku ingin aku kembali ke Singapura. Kehidupanku berada di
sana, Jora. Hanya mereka orang yang ku cintai di dunia ini. Aku tidak ingin
kehilangan orang yang ku cintai lagi”
Setelah mendengar perkataan Zian aku pamit untuk pulang. Ku pikir Zian juga
memendam perasaan sama sepertiku. Ternyata aku salah, ia datang ke Indonesia
untuk mencari orang tua kandungnya. Harusnya aku mengungkapkan perasaanku pada
Zian. Perasaan yang sudah 15 tahun terakhir ku pendam. Sekarang hanya tangis
yang bisa keluar dari mataku. Baru kali ini aku merasakan apa itu namanya patah
hati. Sakit sekali.
Para pegawai tengah bergerombol di lobi utama, mereka membicarakan
sesuatu hal. Karena penasaran aku mendekat untuk mendengar apa yang sedang
dibicarakan.
“ Jadi dia mengundurkan diri?”
“ Sayang sekali, padahal itu posisi penting di kantor”
“ Sayang sekali, padahal itu posisi penting di kantor”
“ Mungkin dia tidak ingin merusak citra kantor kita”
“ Dia kan seniman. Seniman mana cocok berada di kantor”
Aku melangkah pelan menuju ruang kerja, di dalam ku dapati Bagas yang
tengah sibuk di depan laptop. Mungkin ia masih marah padaku. Aku segera menarik
kursi dan menghempaskan tubuhku disana. Bagas berjalan menuju meja kerjaku.
“ Sebelum pergi ia menitipkan ini padaku” Bagas menyerahkan sebuah
kotak berwarna biru.
“ Apa?” aku bertanya pada Bagas
Bagas menggeleng “ Buka saja kalau kamu mau tahu”
Kotak biru itu ku buka pelan-pelan, isi dalam kotak ternyata sebuah
kamera dan selembar kertas. Aku mengambil kertas itu terlebih dahulu.
“ Maafkan aku, Jora, tidak sempat
pamit denganmu. Aku tahu pertemuan ini sangat sulit untuk kita berdua. Terutama
aku, sudah lama aku berusaha menghapus semua ingatan tentang kecelakaan itu
juga tentang semua yang pernah terjadi di Indonesia. Tapi entah mengapa, aku
begitu bahagia ketika papa untuk pertama kalinya mengajakku pergi ke negeri
ini.
Aku tidak menyangka kalau kita
juga akan bertemu lagi. Kamu sekarang lebih cantik dari Jora yang dulu ku
lihat. Sifatmu juga banyak berubah, kamu lebih pemberani dan sekarang punya
banyak teman.
Sekarang kamu tidak perlu
khawatir dengan kameramu yang hilang. Aku sudah menggantinya dengan yang baru,
jangan khawatir, dengan kamera baru ini Maya tidak akan memarahi mu lagi.
Kejora, meskipun aku tidak
disini lagi, kamu harus tetap menjadi Jora yang bersemangat menjalani hari.
Kamu harus berkarya lebih bagus lagi dengan foto-fotomu.
Percayalah aku akan terus
mengingatmu seperti kamu yang selalu mengingatku selama 15 tahun ini.
Tetap semangat!!!
Aku memeluk surat dari Zian erat-erat. Kata dalam surat ini seperti
mengisyaratkan kalau ia tidak akan pernah kembali lagi ke sini. Bagas
memberikan pundaknya padaku, ia membiarkan aku menangis hingga membasahi jas
yang dikenakannya.
Sebelum kembali ke Singapura, Zian pergi ke kantor polisi untuk
menyerahkan bukti pembunuhan yang dilakukan preman bernama Alif pada senior
fotografer sebelum dirinya, Pak Nanda.
Sebenarnya Pak Nanda tidak melakukan bunuh diri dengan terjun bebas di
jembatan kota, ia justru dibunuh oleh Alif yang memiliki dendam lama pada Pak
Nanda karena permasalahan masa lalu.
Zian tidak sengaja menyaksikan peristiwa keji itu, tangannya yang
gemetar terus berusaha mencari fokus kamera untuk membidik perbuatan Alif. Zian
berhasil mendapatkan hasil fotonya namun
ia juga harus berurusan dengan Alif yang melihat kilatan bliz dari
kamera Zian.
Selama beberapa tahun Zian terus menghindar dari kejaran Alif dan selama itu juga Alif terus mencari
dirinya. Ia akhirnya tahu kalau Zian adalah seorang fotografer terkenal asal
Singapura, ketika mendengar kalau Zian akan melakukan kerja sama dengan majalah
Potret. Alif menyusun rencana besar untuk mengambil foto yang ada di kamera
Zian. Ia melakukan berbagai cara dari awal Zian datang ke Indonesia. Ia mencari
tahu kediaman Zian, kantor tempat Zian bekerja dan teman-teman terdekatnya.
Bahkan, teman-teman sesama preman sempat datang ke kantor Potret untuk
memancing emosi Zian. Ketika Alif mendapatkan waktu yang tepat bertemu dengan
Zian, ia tetap tidak bisa mendapatkan foto dari kamera Zian dan malah berusaha
membunuh Zian untuk menghilangkan saksi satu-satunya pembunuhan Pak Nanda.
Lelaki pemberani itu bersiap meninggalkan tanah kelahirannya. Di ujung
telpon mamanya sudah menunggu kedatangan anak satu-satunya mereka. Zian
meninggalkan Indonesia dengan perasaan tenang. Setelah masalah yang silih
berganti datang menemuinya, ia akhirnya dapat bernafas lega dan kembali ke
Singapura dengan senyum yang terhias dibibirnya.
Dan satu-satunya orang terdekat akhirnya berani menyatakan cintanya
padaku. Meskipun ia juga tahu kalau aku tidak mungkin menerima dirinya sebagai
kekasih. Kami tidak mungkin bisa menyatu jika diantara kami masih ada
sosok-sosok lain yang terus mengikuti. Aku yang masih mengharapkan Zian dan
Bagas yang masih memikirkan Lin.
Aku dan Bagas sekarang hanyalah sepasang sahabat yang setiap harinya
harus bekerja keras membuat karya yang bagus. Mencari fokus, Angle yang tepat.
Keuletan kami ini yang membuat jabatan junior dengan cepat berubah menjadi
senior. Akhirnya aku merasakan bagaimana disegani oleh orang lain lewat sebuah
karya.
Terlebih lewat sebuah kamera pemberian Zian karya-karya itu tercipta.
Kadang aku tersenyum mengingat pertemuanku dengannya. Meski mungkin ia tidak
akan kembali lagi, tapi dalam suratnya ia berjanji akan mengingatku seperti aku
yang terus mengingatnya.
0 comments